Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Inilah Alasan Sebenarnya Kenapa Kita Selalu Berpura-pura!

30 September 2023   05:49 Diperbarui: 3 Oktober 2023   16:34 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi topeng sebagai simbol kepura-puraan. Foto: Ilo dari Pixabay.

 

Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura-pura

Itulah sebagian lirik lagu "Panggung Sandiwara" ciptaan Taufiq Ismail dan Ian Antono yang dibawakan oleh Nicky Astria pada awal tahun 1980an.

*** 

"Ketika kita lahir, kita menangis karena kita telah tiba di panggung kebodohan ini." - William Shakespeare.

Apakah hidup hanya serangkaian adegan dalam drama besar yang disebut dunia? Pikiran ini muncul ketika kita mengamati realitas yang begitu kompleks namun sering kali disamarkan oleh topeng-topeng kepura-puraan.

Terkadang, tugas untuk membedakan antara ranah aktualitas dan ranah imajinasi bisa menjadi tantangan yang signifikan, memastikan yang autentik dari yang palsu. Namun, apakah kesulitan ini menghentikan kita dari mempertanyakan kebenaran di balik setiap adegan?

Sesuai dengan kata-kata William Shakespeare, "Seluruh dunia adalah panggung, dan semua pria dan wanita hanya pemain." Namun, apa yang terjadi ketika para pemain ini berpura-pura? Apa yang terjadi dalam skenario di mana aktor kita memerankan karakter yang tidak sesuai dengan jadi diri asli mereka? Inilah yang dikenal sebagai hipokrisi: kepura-puraan yang disengaja untuk tujuan tertentu.

Banyak dari kita berpura-pura setiap hari, mungkin untuk menyembunyikan ketakutan, keraguan, atau untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Namun, kepura-puraan ini tidaklah tanpa biaya. Setiap kali kita berpura-pura, kita menjauh dari inti sejati kita, dari diri autentik kita.

***

"Kita lahir sendirian, kita hidup sendirian, kita mati sendirian. Hanya melalui cinta dan persahabatan kita dapat menciptakan ilusi, sejenak, bahwa kita tidak sendirian." - Orson Welles.

Ketika Orson Welles merenungkan kesendirian dalam kehidupan, apakah dia berbicara tentang realitas? Ataukah itu hanya kepura-puraan semata? Dunia ini, seperti panggung teater besar, di mana setiap individu memainkan perannya sesuai dengan naskah yang telah ditentukan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kita semua memiliki peran, entah sebagai protagonis, antagonis, atau tritagonis. Tapi, adakah garis yang memisahkan antara realitas dan kepura-puraan dalam kehidupan ini?

Jean-Paul Sartre, seorang filsuf terkemuka dalam tradisi eksistensialis, sering kali mengajukan pertanyaan mendalam tentang sifat eksistensi manusia. "Apakah kita benar-benar hidup? Ataukah kita hanya berpura-pura hidup?" Ketika kita berbicara tentang kepura-puraan, kita berbicara tentang paradoks. Paradoks antara kebenaran dan ilusi.

Kepura-puraan, meskipun sering kali dianggap sebagai sesuatu yang negatif, terkadang diperlukan dalam kehidupan. Misalnya, kepura-puraan positif yang dijaga oleh seorang ayah di depan anak-anaknya, meskipun dia merasa hancur di dalam hatinya. Atau upaya seorang psikolog untuk tetap tenang ketika mendengar kisah tragis seorang pasien. Dalam situasi-situasi ini, kepura-puraan menjadi mekanisme pertahanan, cara untuk melindungi diri sendiri dan orang lain.

Namun, kepura-puraan juga memiliki sisi gelap. Berpura-pura menjadi jujur, berpura-pura simpati, atau berpura-pura berbudi; semua ini adalah bentuk kepura-puraan dengan motif jahat. Di sinilah kita harus bijak dalam membedakan kepura-puraan yang konstruktif dari yang destruktif.

Mengambil contoh seorang penguasa, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kita sering menemukan kepura-puraan dalam tindakan mereka. Filsuf Plato pernah menyatakan dalam "Republik"-nya bahwa penguasa ideal adalah mereka yang mampu melihat "ide kebaikan" dengan jelas. Namun, apakah penguasa-penguasa kontemporer saat ini benar-benar memiliki visi ini? Ataukah mereka hanya aktor politik yang berpura-pura?

Sebagai penonton di panggung drama kehidupan ini, kita sering kali terbawa oleh cerita yang disajikan. Namun, apakah kita hanyalah pengamat pasif, menerima segala yang disajikan di depan kita? Ataukah kita juga memiliki peran aktif dalam menciptakan narasi kita sendiri?

Friedrich Nietzsche, filsuf kontroversial, memperkenalkan konsep "kehendak untuk kuasa" sebagai dorongan utama dalam kehidupan manusia. Dalam pandangannya, manusia selalu berusaha untuk mendominasi, mengendalikan, dan memengaruhi lingkungannya. Dalam konteks kepura-puraan, apakah kita memilih untuk berpura-pura demi keinginan kita sendiri? Atau demi kebaikan yang lebih besar?

***

Memang, dunia ini seperti panggung sandiwara, di mana setiap orang memainkan perannya. Namun, penting untuk diingat bahwa, meskipun kita sering harus berpura-pura, penting untuk tetap berpegang pada kebenaran dan integritas. Seperti yang dikatakan oleh William Shakespeare, "To thine own self be true." (Tetap setia pada dirimu sendiri.)

Terkadang, kepura-puraan bisa berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi pada saat lain, bisa menjadi senjata penghancur. Bagi kita, sebagai penonton atau pemain di panggung kehidupan ini, penting untuk selalu menjaga kejernihan pikiran, untuk membedakan antara realitas dan kepura-puraan, serta untuk selalu berusaha mencari kebenaran di balik setiap adegan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun