Ketika Orson Welles merenungkan kesendirian dalam kehidupan, apakah dia berbicara tentang realitas? Ataukah itu hanya kepura-puraan semata? Dunia ini, seperti panggung teater besar, di mana setiap individu memainkan perannya sesuai dengan naskah yang telah ditentukan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kita semua memiliki peran, entah sebagai protagonis, antagonis, atau tritagonis. Tapi, adakah garis yang memisahkan antara realitas dan kepura-puraan dalam kehidupan ini?
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf terkemuka dalam tradisi eksistensialis, sering kali mengajukan pertanyaan mendalam tentang sifat eksistensi manusia. "Apakah kita benar-benar hidup? Ataukah kita hanya berpura-pura hidup?" Ketika kita berbicara tentang kepura-puraan, kita berbicara tentang paradoks. Paradoks antara kebenaran dan ilusi.
Kepura-puraan, meskipun sering kali dianggap sebagai sesuatu yang negatif, terkadang diperlukan dalam kehidupan. Misalnya, kepura-puraan positif yang dijaga oleh seorang ayah di depan anak-anaknya, meskipun dia merasa hancur di dalam hatinya. Atau upaya seorang psikolog untuk tetap tenang ketika mendengar kisah tragis seorang pasien. Dalam situasi-situasi ini, kepura-puraan menjadi mekanisme pertahanan, cara untuk melindungi diri sendiri dan orang lain.
Namun, kepura-puraan juga memiliki sisi gelap. Berpura-pura menjadi jujur, berpura-pura simpati, atau berpura-pura berbudi; semua ini adalah bentuk kepura-puraan dengan motif jahat. Di sinilah kita harus bijak dalam membedakan kepura-puraan yang konstruktif dari yang destruktif.
Mengambil contoh seorang penguasa, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kita sering menemukan kepura-puraan dalam tindakan mereka. Filsuf Plato pernah menyatakan dalam "Republik"-nya bahwa penguasa ideal adalah mereka yang mampu melihat "ide kebaikan" dengan jelas. Namun, apakah penguasa-penguasa kontemporer saat ini benar-benar memiliki visi ini? Ataukah mereka hanya aktor politik yang berpura-pura?
Sebagai penonton di panggung drama kehidupan ini, kita sering kali terbawa oleh cerita yang disajikan. Namun, apakah kita hanyalah pengamat pasif, menerima segala yang disajikan di depan kita? Ataukah kita juga memiliki peran aktif dalam menciptakan narasi kita sendiri?
Friedrich Nietzsche, filsuf kontroversial, memperkenalkan konsep "kehendak untuk kuasa" sebagai dorongan utama dalam kehidupan manusia. Dalam pandangannya, manusia selalu berusaha untuk mendominasi, mengendalikan, dan memengaruhi lingkungannya. Dalam konteks kepura-puraan, apakah kita memilih untuk berpura-pura demi keinginan kita sendiri? Atau demi kebaikan yang lebih besar?
***
Memang, dunia ini seperti panggung sandiwara, di mana setiap orang memainkan perannya. Namun, penting untuk diingat bahwa, meskipun kita sering harus berpura-pura, penting untuk tetap berpegang pada kebenaran dan integritas. Seperti yang dikatakan oleh William Shakespeare, "To thine own self be true." (Tetap setia pada dirimu sendiri.)
Terkadang, kepura-puraan bisa berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi pada saat lain, bisa menjadi senjata penghancur. Bagi kita, sebagai penonton atau pemain di panggung kehidupan ini, penting untuk selalu menjaga kejernihan pikiran, untuk membedakan antara realitas dan kepura-puraan, serta untuk selalu berusaha mencari kebenaran di balik setiap adegan.