Di hari liburan lebaran, selain mudik ke kampung halaman dan berlibur bersama keluarga saya sangat beruntung karena diajak komunitas 1000 guru regional makassar untuk berkunjung ke Bonto Parang. Sebuah desa di Pegunungan Maros perbatasan dengan Kabupaten Gowa. Rangkaian pegunungan di dekat Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang. Komunitas 1000 guru regional Makassar melakukan survey untuk acara traveling dan teaching yang akan dilaksanakan pada tanggal 16-17 agustus 2014 mendatang.
Uji nyali melewati jembatan gantung
Desa Bonto Parang terletak di kecamatan Tompo Bulu kabupaten Maros. Sekitar 70 km dari Makassar, namun karena akses jalan berbatu dan mendaki sehingga ditempuh sekitar 4 jam dengan menggunakan sepeda motor. Bahkan sebagian besar dusun hanya bisa diakses dengan jalan kaki, seperti Dusun Cindakko dan Tanete yang harus ditempuh dengan 4 jam berjalan kaki dari Dusun Bahagia ( dusun terakhir yang bisa diakses dengan sepeda motor). Saya dan beberapa anggota tim survey 1000 guru tidak menyangka kondisi jalan akan separah itu sehingga menggunakan motor matik, untunglah terbayar dengan keindahan alam selama perjalanan berupa sungai dan gunung yang berderet indah.
Di Bonto Parangkami diterima di rumah Dg. Tata Cuang. Daeng Tata sudah akrab dengan mahasiswa pencinta alam yang sering melintasi pegunungan di seputar Bawakaraeng, kebetulan salah seorang dari kami sudah sering berkunjung ke sini. Dari penjelasan Dg. tata saya mendengar banyak kisah seputar kehidupan warga . Tentang pekerjaan penduduk, kegotong royongan yang masih terjaga serta sulitnya pendidikan dan kesehatan karena akses transportasi yang terbatas.
Potensi Ekonomi dan Kehidupan Warga
Penduduk desa Desa Bonto Parang terdiri dari sekitar 300 kepala keluarga tersebar di 5 dusun yang berjauhan dan tidak bisa diakses dengan kendaraan. Â Pekerjaan utama penduduknya adalah bertani di sawah di lembah dan lereng gunung. Selain alam yang indah, desa ini dianugrahi tanah yang subur dan hutan lebat yang masih terjaga. Selain bertani, penduduk desa Bonto Parang juga kebanyakan memelihara sapi. Sapi-sapi yang tidak dikandangkan dan cukup dilepas di sawah dan lereng gunung. Pendapatan dari sapi sangat membantu ekonomi warga kata Dg. Tata cuang. Sumber ekonomi yang lain adalah membuat gula merah dari aren dan mencari madu di hutan.
Sewaktu melintasi desa ini, terlihat bahwa kehidupan ekonomi warga desa cukup lumayan. Tak jarang yang memiliki mobil pribadi meskipun jalan raya sepertinya tidak memungkinkan untuk mobil. Barang-barang elektronik pun sudah sangat akrab dengan warga, meskipun listrik menggunakan Genset sehingga hanya bisa sampai jam 10 malam dan signal sulit diperoleh. Â Menurut dg. Tata dulu pernah ada pembangkit mikro hidro namun tidak berfungsi lagi karena minimnya perawatan.
Secara ekonomi daerah ini sangat potensil untuk dikembangkan, jarak yang dekat dengan Makassar dan alam yang indah serta adanya air terjun merupakan potensi wisata yang bisa menjadi sumber pendapatan daerah. Hanya saja perlu investasi dari pemda maros untuk memperbaiki jalan raya yang ada serta promosi untuk menarik wisatawan ke daerah ini.
Pendidikan dan Kesehatan
Sulitnya transportasi menyebabkan sulitnya akses pendidikan dan kesehatan pada warga. Selain itu Fasilitas pendidikan pun terbatas.  Puskesmas hanya ada di ibukota kecamatan, sedangkan  sekolah dasar hanya satuyang terletak di dusun bahagia, sehingga anak-anak dari dusun-dusun lain harus berjalan berjam-jam untuk berangkat ke sekolah. Untuk dusun yang lebih jauh, banyak warga yang menitip anaknya di rumah warga di dusun bahagia meski anaknya masih kurang dari 10 tahun untuk memperoleh pendidikan SD.  Mereka pulang seminggu sekali ke rumah orang tua. Namun tentu saja hanya orang tua yang sadar akan pendidikan. Tentu masih banyak anak-anak yang tidak bersekolah karena kondisi dan rendahnya kesadaran orang tua.
Hasanuddin, guru SD di Bonto Marannu menjelaskan kepada kami terbatasnya fasilitas pendidikan. Namun tidak menyurutkan minat anak-anak untuk bersekolah, jumlah siswa sekitar 260 orang. Memang semestinya ada SD yang dibangun di dusun -dusun lain karena di sana juga jumlah warganya cukup banyak yang membutuhkan pendidikan. SMP sudah ada satu atap dengan SD yang di Bonto Parang, namun tenaga pendidiknya masih terbatas. Di SD sendiri hanya 1 guru berstatus PNS, guru-guru lainnya masih berstatus honorer.
Pelayanan kesehatan tentu masih sangat sulit diperoleh, warga hanya mengandalkan pengetahuan tradisional turun temurun untuk survive. Atau bakti sosial yang diadakan sesekali oleh mahasiswa dan pemerintah. Saya lupa menanyakan mengenai pendidikan agama bagi anak-anak disini, saya hanya melihat satu mesjid kecil yang tidak terurus. Pasti masih banyak anak-anak yang tidak bisa mengaji dan mendapat pelajaran agama yang memadai disini. Dan Daerah-daerah pegunungan seperti ini yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan lembaga dakwah sangat rawan untuk pindah agama.
Mungkin ada baiknya pemerintah Maros berkunjung ke desa ini, melihat potensi ekonomi dan parawisata yang ada sekaligus memperhatikan kebutuhan warganya akan pendidikan dan kesehatan. Jarak yang dekat dengan Makassar dan alam yang indah adalah potensi parawisata yang dapat bermanfaat dengan warga dan pendapatan keuangan bagi kabupaten maros, namun tentu saja akses transportasi harus diperbaiki. Paling tidak bagi saya, bahwa masyarakat dan pemerintah seyogyanya memperhatikan akses pendidikan dan kesehatan bagi saudara-saudara kita disana yang membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H