4). Tabu larangan, pendidikan umumnya hanya menjejali otak remaja sementara hatinya (imannya) dibiarkan kosong. Sehingga larangan-larangan yang ada hanya didengar tapi tak pernah ia hayati apa makna dari larangan tersebut.
5). Kebanyakan orang tua sudah tidak perduli pendidikan moral remaja anaknya di rumah bahkan justru kian permisif terhadap perilaku moral yang dilakukan anaknya.
6). Pergaulan bebas. Pergaulan bebas tidak bisa dimaknai sebagai pergaulan remaja yang tanpa batas.
Mengenai perkawinan perempuan hamil dikalangan para ulama mereka memiliki perbedaan pendapat, menurut Imam Syafi'i dan Hanafi mereka menyatakan boleh mengawini perempuan hamil dengan laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya. Alasan Imam Syafi'i dan Hanafi membolehkan perkawinan perempuan hamil terdapat dalam Qur'an surat An-Nisa ayat 23-24. Berdasarkan ayat tersebut dapat kita pahami bahwa perempuan hamil yang disebabkan oleh zina boleh menikah karena termasuk perempuan yang tidak bersami.
Sementara itu, alasan Abu Hanifah dalam pendapatnya adalah sama dengan yang dikemukakan oleh Imam Syafi'i bahwa boleh menikahi perempuan hamil yang disebabkan oleh zina, namun tidak boleh menggaulinya sampai ia melahirkan. Sedangkan menurut Imam Maliki dan Hambali mereka menyatakan bahwa tidak boleh megawini perempuan hamil akibat zina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya. Menurut Imam Hambali, perempuan pezina baik ia hamil atau tidak tidak boleh dikawini oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya itu, kecuali dengan syarat:
a). Telah habis masa iddahnya, tiga kali haid. Namun jika ia hamil maka iddahnya habis dengan melahirkan anaknya, dan belum boleh mengawininya sebelum habis masa iddahnya.
b). Telah bertaubat perempuan itu dari perbuatan maksiatnya, dan jika ia belum bertaubat, maka ia tidak boleh mengawininya.
Ditinjau secara yuridis Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan secara khusus tidak mengatur mengenai perkawinan perempuan hamil, namun dalam undang-undang perkawinan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dan dalam KHI pasal 53 tidak menjelaskan secara rinci mengenai perkawinan perempuan hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Hanya saja dalam KHI menyatakan bahwa perkawinan perempuan hamil hanya dengan laki-laki yang menghamilinya tidak memberikan peluang kepada laki-laki yang bukan menjadi sebab terjadinya kehamilan tersebut.
Ditinjau dari segi sosiologis, ada beberapa yakni:
a). Masyarakat yang menolak
Masyarakat yang menolak perempuan yang hamil sebelum menikah yaitu terbagi menjadi dua bagian dimana ada masyarakat yang menganggap bahwa peremuan yang hamil sebelum menikah tersebut dalam masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang haram, dilarang secara agama Islam.