Mohon tunggu...
Syahad IshmahMaulida
Syahad IshmahMaulida Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepemimpinan Suharto di Balik "Piye Kabare? Penak Jamanku To"

25 Juni 2024   16:00 Diperbarui: 25 Juni 2024   17:28 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suharto menjadi Presiden Indonesia setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret atau yang disebut dengan Supersemar bertanggalkan 11 Maret 1966. 

Didalamnya terdapat perintah kepada Jenderal Suharto dalam rangka untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu kacau pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 dan menggantikan Presiden Soekarno yang sebelumnya telah menjabat selama kurang lebih 22 tahun. 

Namun ada juga yang berpendapat bahwa masa Orde Baru dimulai melalui Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno pada 12 Maret 1967. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya oleh Ketua MPRS Jenderal TNI Abdul Haris Nasution sebagai Presiden RI.

Kepemimpinan pada masa Suharto dikenal sebagai era Orde Baru, yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade, tepatnya selama 32 tahun ia menjabat. Suharto berhasil membawa stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada awal pemerintahannya. 

Tidak seperti pada masa pemerintahan Sukarno yang anti barat, Suharto menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain yang tergabung dalam ASEAN sehingga pembangunan ekonomi nasional dapat berjalan dengan baik, serta terwujudnya stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Bahkan, pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di kawasan ASEAN. 

Tak hanya itu, pada masa itu juga, Indonesia meraih beberapa prestasi seperti menjadi ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI) dimana organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara-negara anggota, mengkoordinasikan kerja sama antar anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam, serta membantu perjuangan rakyat Palestina. 

Kemudian yang kedua, Indonesia juga menjabat sebagai ketua Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), organisasi ini bertujuan untuk membangun kerjasama ekonomi dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Kemudian yang terakhir, Indonesia menampilan dominasi yang lebih besar di organisasi ASEAN karena pada masa tersebut, Indonesia menekankan penggunaan pendekatan yang lembut dalam politik hubungan luar negerinya, sehingga memungkinkan kerja sama dengan negara-negara lain.

Selain keaktifan yang dilakukan dalam melakukan hubungan luar negeri, di Indonesia sendiri ia menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat bermanfaat bagi negara. Yang pertama adalah kebijakan dalam bidang ekonomi, yaitu kebijakan berupa peningkatan ekspor dan pengembangan strategi sektor-sektor dan penghapusan kekuasaan pemerintah dalam industri tertentu (deregulasi) untuk meningkatkan kemampuan industri nasional. 

Yang kedua, dalam bidang keamanan, Suharto meningkatkan stabilitas dan keamanan nasional, dengan menghapus pengaruh komunisme. Dalam bidang sosial, Suharto mencanangkan kebijakan transmigrasi ke daerah-daerah yang kurang berkembang guna pemerataan penduduk dan pembangunan. 

Kemudian pada bidang politik, Suharto membuat kebijakan dimana partai politik disederhanakan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyaluran aspirasi masyarakat, sehingga hanya muncul beberapa partai yang menjadi partai induk dari beberapa partai, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Golongan Karya (Golkar). 

Pada bidang pendidikan, Suharto menetapkan kurikulum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, meningkatkan akses dan mutu serta memberikan beasiswa bagi siswa-siswa yang berprestasi. Sedangkan dalam bidang kesehatan, Suharto menerbitkan sistem pelayanan terpadu dan terjangkau, program Keluarga Berencana (KB) guna mengendalikan pertumbuhan dan kesejahteraan keluarga.

 

Namun dibalik kebijakan-kebijakan dan keaktifan yang ditunjukkan pada hubungan regional, pemerintahan Suharto diwarnai dengan isu-isu pelanggaran HAM, korupsi, dan nepotisme, meskipun ia memiliki kebijakan untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan korupsi, dan nepotisme. 

Kebebasan berpendapat pun diawasi dan demonstrasi hanya boleh dilakukan oleh mahasiswa di dalam universitas-universitas saja sehingga setiap kritikan dibungkam dan setiap pendapat yang berbeda dari pemerintahannya akan segera diadili.

Bahkan tidak semua masyarakat dapat merasakan pendidikan, terutama keluarga yang memiliki tingkat ekonomi rendah, mereka menganggap bahwa biaya untuk menempuhnya mahal. Semua tingkat sekolah masih harus membayar dikarenakan belum adanya bantuan dana pendidikan dari pemerintah.

Pemerintahan ini menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Melalui program pembangunan yang dikenal dengan "Repelita" (Rencana Pembangunan Lima Tahun), pemerintah berfokus pada industrialisasi, modernisasi pertanian, dan pembangunan infrastruktur. 

Pendorongan kebijakan transmigrasi sebagai bagian dari strategi pembangunan, banyak masyarakat pedesaan yang kemudian bermigrasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan untuk mencari pekerjaan di sektor industri dan jasa. Namun, migrasi ini sering kali tidak disertai dengan peningkatan keterampilan yang memadai, sehingga banyak dari mereka hanya bisa bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. 

Kota-kota besar kemudian dipenuhi dengan kawasan kumuh yang dihuni oleh pekerja informal yang tidak memiliki akses memadai terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan layak. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu sejalan dengan pemerataan kesejahteraan. Salah satu ciri utama dari ekonomi Orde Baru adalah kesenjangan ekonomi yang signifikan. 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang lapisan atas yang dekat dengan kekuasaan, sementara sebagian besar masyarakat terutama yang berada di lapisan bawah, tetap hidup dalam kemiskinan. Kesenjangan ini diperparah oleh tindakan korupsi dan kolusi yang merajalela di berbagai tingkat pemerintahan.

Selain dari kebijakan-kebijakan yang Suharto jalankan dalam masa pemerintahannya, ia juga berperan dalam penulisan sejarah, pembelaan atas rezimnya dibantu oleh Kepala Pusat Sejarah ABRI, dimana sejarah diputar menjadi sudut pandang dari pihak militer dan mengurangi sumbangan Presiden Sukarno dalam sejarah. 

Seperti dalam buku yang berjudul "Ketika Sejarah Berseragam"  yang ditulis oleh Katharine E. McGregor bahwa usaha Suharto dalam menyusun cerita sejarah menunjukkan persamaan rezimnya dengan rezim sebelumnya dan dari rezim negara-negara yang lain dimana mereka lebih menekankan pada peran militer dalam pemerintahan atau lebih dikenal dengan sebutan militerisme. 

Peran militer yang selalu berseru-seru dalam melawan kudeta dan penumpasan komunis sebagai usaha untuk menegakkan Pancasila tergambar jelas dalam relief dibawah Monumen Pancasila Sakti.

Penulisan sejarah yang militersentris dan penerapan dwi-fungsi ABRI menyebabkan yang seharusnya bertujuan untuk kesejahteraan bangsa sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 berubah menjadi hanya mewujudkan tujuan internal militer. Nugroho, seorang Kepala Pusat Sejarah ABRI yang kemudian diangkat menjadi rektor pada tahun 1982 di Universitas Indonesia menekankan keberpihakannya kepada militer serta mempromosikannya dalam versi sejarah miliknya. 

Nugroho memiliki posisi sebagai penyunting dalam pembuatan buku "Sejarah Nasional Indonesia", dalam buku tersebut ia memiliki tujuan untuk meningkatkan profil orang-orang militer seperti Jenderal Sudirman dan Presiden Suharto, juga mengurangi atau menghapus pengaruh Sukarno dalam masyarakat. Hingga akhir hidupnya pada tahun 1985 Nugroho tetap membesarkan militer karena menganggap bahwa militer merupakan sesuatu yang agung dalam pemerintahan tersebut.

Meskipun bentuk pemerintahan adalah republik dan selalu mengusung unsur demokrasi, tetapi pada masa Suharto ia terus menjadi pusat dari setiap keputusan yang diambil, atau sentralisasi dalam sistem pemerintahan yang ia pimpin. Namun dilihat dari kondisi Indonesia pada saat Orde Baru, dengan keputusan Presiden Suharto memutuskan adanya dwi-fungsi ABRI dan sebagainya sebenarnya sudah ideal. 

Meskipun pada saat ini orang-orang akan berpikir bahwa kebijakan yang diambil Suharto dianggap tidak tepat karena adanya peraturan bahwa ia menjadi presiden seumur hidup. Penyederhanaan partai politik pada masa kepemimpinannya dengan banyaknya pendapat dari setiap masyarakat yang ingin suaranya didengar berguna untuk menghindari adanya konflik.

Hal tersebut sebenarnya sudah tepat dilakukan karena masyarakat Indonesia masih mengalami trauma setelah masa Kolonialisme Belanda dan Pendudukan Jepang, juga karena timbulnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah setelah masa-masa tersebut.

Namun, pengagungan militer pada masa Suharto sudah mengubah historiografi Indonesia. Sebagaimana penulisan sejarah Indonesia saat ini juga masih didominasi oleh Belandasentris bukan Indonesiasentris. 

Ketergantungan pada arsip yang ditulis oleh pihak Belanda sudah menjadi tumpuan para sejarawan saat ini, dan ditolaknya penulisan sejarah dari para pelancong Eropa dan sumber-sumber historiografi Bumiputera karena kebenarannya yang masih diragukan dan dianggap tidak dapat dipertanggung jawabkan seperti yang ditulis oleh Nugroho dalam bukunya 'Sejarah Nasional Indonesia" yang militersentris. Penulisan sejarah hanya berpusat pada pemerintah demi kepentingan pemerintah itu sendiri. 

Kurangnya kehadiran "wong cilik" atau masyarakat dari lapisan bawah sangat berpengaruh pada historiografi Indonesia. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa sejarah-sejarah Indonesia pada masa ini yang telah dibengkokkan demi kepentingan rezim perlu diluruskan, namun hal ini juga masih menjadi perdebatan dikarenakan bisa jadi sejarah yang sudah lurus tidak mungkin akan diluruskan kembali, sehingga muncul istilah pelurusan sejarah yang diluruskan kembali.

Referensi:

McGregor, Katharine E. (2008). Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat.

Rosyada, Yassirly Amrona. (2022) Ilmu Politik. Salatiga: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Salatiga.

Zamharir, Hari dan Sahruddin Lubis. (2023). Re- Inventing Demokrasi Gotong Royong Dalam Pancasila: Perspektif Teori Demokrasi Deliberatif. Depok: PT. Ahad Media Komunika.

Kementerian Luar Negeri (2022). Supersemar: Transisi Kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto, diakses pada 10 Juni 2024 dari https://kemlu.go.id/maputo/id/news/19978/supersemar-transisi-kekuasaan-presiden-soekarno-kepada-jenderal-soeharto

Rangkuti, Maksum. (2023). Perbandingan Kebijakan Pemerintahan Soekarno dan Soeharto: Dinamika Pembangunan Indonesia, diakses pada 13 Juni 2024 dari https://fahum.umsu.ac.id/perbandingan-kebijakan-pemerintahan-soekarno-dan-soeharto-dinamika-pembangunan-indonesia/

Sejarah dan Sosial. (2024). Kebijakan Politik pada Masa rde Baru yang Perlu Ditelusuri, diakses pada 18 Juni 2024 dari https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/kebijakan-politik-pada-masa-orde-baru-yang-perlu-ditelusuri-223NOxE58Xe/full

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun