Peran militer yang selalu berseru-seru dalam melawan kudeta dan penumpasan komunis sebagai usaha untuk menegakkan Pancasila tergambar jelas dalam relief dibawah Monumen Pancasila Sakti.
Penulisan sejarah yang militersentris dan penerapan dwi-fungsi ABRI menyebabkan yang seharusnya bertujuan untuk kesejahteraan bangsa sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 berubah menjadi hanya mewujudkan tujuan internal militer. Nugroho, seorang Kepala Pusat Sejarah ABRI yang kemudian diangkat menjadi rektor pada tahun 1982 di Universitas Indonesia menekankan keberpihakannya kepada militer serta mempromosikannya dalam versi sejarah miliknya.Â
Nugroho memiliki posisi sebagai penyunting dalam pembuatan buku "Sejarah Nasional Indonesia", dalam buku tersebut ia memiliki tujuan untuk meningkatkan profil orang-orang militer seperti Jenderal Sudirman dan Presiden Suharto, juga mengurangi atau menghapus pengaruh Sukarno dalam masyarakat. Hingga akhir hidupnya pada tahun 1985 Nugroho tetap membesarkan militer karena menganggap bahwa militer merupakan sesuatu yang agung dalam pemerintahan tersebut.
Meskipun bentuk pemerintahan adalah republik dan selalu mengusung unsur demokrasi, tetapi pada masa Suharto ia terus menjadi pusat dari setiap keputusan yang diambil, atau sentralisasi dalam sistem pemerintahan yang ia pimpin. Namun dilihat dari kondisi Indonesia pada saat Orde Baru, dengan keputusan Presiden Suharto memutuskan adanya dwi-fungsi ABRI dan sebagainya sebenarnya sudah ideal.Â
Meskipun pada saat ini orang-orang akan berpikir bahwa kebijakan yang diambil Suharto dianggap tidak tepat karena adanya peraturan bahwa ia menjadi presiden seumur hidup. Penyederhanaan partai politik pada masa kepemimpinannya dengan banyaknya pendapat dari setiap masyarakat yang ingin suaranya didengar berguna untuk menghindari adanya konflik.
Hal tersebut sebenarnya sudah tepat dilakukan karena masyarakat Indonesia masih mengalami trauma setelah masa Kolonialisme Belanda dan Pendudukan Jepang, juga karena timbulnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah setelah masa-masa tersebut.
Namun, pengagungan militer pada masa Suharto sudah mengubah historiografi Indonesia. Sebagaimana penulisan sejarah Indonesia saat ini juga masih didominasi oleh Belandasentris bukan Indonesiasentris.Â
Ketergantungan pada arsip yang ditulis oleh pihak Belanda sudah menjadi tumpuan para sejarawan saat ini, dan ditolaknya penulisan sejarah dari para pelancong Eropa dan sumber-sumber historiografi Bumiputera karena kebenarannya yang masih diragukan dan dianggap tidak dapat dipertanggung jawabkan seperti yang ditulis oleh Nugroho dalam bukunya 'Sejarah Nasional Indonesia" yang militersentris. Penulisan sejarah hanya berpusat pada pemerintah demi kepentingan pemerintah itu sendiri.Â
Kurangnya kehadiran "wong cilik" atau masyarakat dari lapisan bawah sangat berpengaruh pada historiografi Indonesia. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa sejarah-sejarah Indonesia pada masa ini yang telah dibengkokkan demi kepentingan rezim perlu diluruskan, namun hal ini juga masih menjadi perdebatan dikarenakan bisa jadi sejarah yang sudah lurus tidak mungkin akan diluruskan kembali, sehingga muncul istilah pelurusan sejarah yang diluruskan kembali.
Referensi:
McGregor, Katharine E. (2008). Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat.