Pasangan KarSa berambisi menjegal Khofifah-Herman agar biaya politiknya menjadi rendah, sementara kalau Khofifah-Herman maju, pasangan Pakde Karwo-Gus Ipul menjadi berat dan membutuhkan biaya yang besar, sebab tidak mudah mengalahkan Khofifah-Herman yang memiliki basis yang kuat dan mengakar di bawah.
Khofifah di Pilgub 2018 Bergandengan Dengan Soekarwo
Dahulu sebelum Khofifah menjadi Menteri Sosial dijaman Presiden Jokowi, menjadi kandidat calon gubenur sangatlah megap-megap, masalah pendanaan dan logistik kadang menjadi kendala. Walau hal tersebut tidak menjadi yang utama. Sebagai mantan tim sukses Khofifah-Herman dahulu Khofifah memang susah dalam pendanaan, sehingga harus cari sana-sini. Tetapi sekarang berbeda, kekuatan Khofifah sudah terukur, status sebagai Menteri Sosial membuatnya bisa lebih dekat dengan media dan bisa turun langsung ke masyarakat bawah. Walau tanpa tujuan kampanye, dirinya sudah terkampanye dengan sendirinya. Tiap hari wajah dan posenya menghiasi media cetak dan elektronik.
Saya ingat beliau Khofifah pernah mengatakan, saya dalam Pilgub 2013 lalu paling habis 7 Milyar, sementara Pakde Karwo menghabiskan 7 Triliun dengan menggunakan dana APBD Jatim untuk meraih simpati rakyat. "Tentunya sangat sulit mengalahkan Pakde Karwo, tapi saya sangat optimis," kata Khofifah disampaikan kepada saya penuh kegigihan.
 Bahkan Ketua Umum PP Muslimat ini juga pernah menegaskan, dalam bedah buku 'Melawan Pembajakan Demokrasi' di The Venture-Lobby Plaza Town Square Suite Surabaya (Sutos). Katanya, politik akan bisa berjalan baik, jika hidup berdemokrasi bisa dijunjung tinggi dalam perpolitikan Indonesia, bukan malah mengebirinya dengan segala bentuk kecurangan.Â
 "Dalam teori Immanuel Kant, pelaku politik ada dua sifat. Sifat yang pertama adalah sifat merpati dan yang kedua sifat ular," kata dia mengutip kalimat filsuf asal Jerman, Immanuel Kant.
 Sifat merpati, menurut Khofifah adalah sifat penuh kelembutan dan penuh kasih sayang tanpa harus menyakiti demokrasi. Sementara sifat yang kedua adalah sifat ular, yang penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat. "Sifat ini yang cenderung digunakan oleh pelaku-pelaku politik untuk meraih kemenangan. Segala cara terus dilakukan, meski mengorbankan demokrasi."Â
Dengan kondisi yang seperti ini, menurut Khofifah, keadaan Negara Indonesia makin merosot. "Kalau kata Ronggo Warsito, keadaan negara yang kian merosot, maka tidak ada lagi yang perlu dicontoh. Politik kartel, adalah wujud dari pengebirian demokrasi. Pilgub 2008 silam, adalah contoh nyata politik kartel," tegas Khofifah menjelang persiapan Pilgub 2013 lalu.
Dalam filsafat atau ilmu politik, sebenarnya wacana politik kartel bukan merupakan hal baru. John Atkinson Hobson, seorang ekonom Inggris liberal-kiri, pernah memperkenalkan konsep kartel-ekonomi modern sebagai tanggapan terhadap situasi ekonomi antara 1902 dan 1938. Lalu, ada pula Karl Kautsky, pakar demokrasi sosial, yang sejak 1912 menyebutkan bahwa negara-negara besar, seperti Inggris dan Jerman, pernah membentuk kerja sama sebagai "negara kartel" demi memenangi Perang Dunia II.
Sedangkan konsep partai kartel pertama dimunculkan pada 1992 oleh Peter Mair dan Richard S. Katz dalam beberapa karya mereka, antara lain dalam "Changing Models of Party Organization and Party Democracy".
 Konsep partai kartel merujuk pada kehadiran partai politik sebagai sarana kerja sama atau "kolusi" berbagai pihak demi meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan yang sudah diraih.  Kemudian gagasan di atas dipertegas oleh Daniel Katz dan Peter Mair pada 1995, yang mencermati fenomena munculnya partai-partai baru yang disebut sebagai partai kartel. Partai kartel semula merupakan partai massa. Partai massa kerap tersingkir dalam kontes politik yang disebut pemilu karena idealismenya untuk mewujudkan cita-cita politik, yakni "bonum commune".