Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Membaca, Membaca Budaya: Mengeja Zaman?

2 Februari 2025   19:07 Diperbarui: 2 Februari 2025   19:07 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika founder K-Apel, mengirim pesan melaui WA, berisi plyer: Acara Diskusi bertajuk "Budaya Membaca, Membaca Budaya", dan meminta untuk menjadi salah seorang pembincang. Saya menyatakan 'pikir-pikir', dan memintanya mencari pembincang yang lebih kompeten, seorang budayawan 'asli'. Saya memiliki minat pada kebudayaan, tapi bukan ahli budaya. Namun, beliau menyatakan sebuah 'latarbelakang' bahwa topik ini, sedikit banyaknya telah dipengaruhi oleh ngobrol lepas kami, mengenai 'kebudayaan' modern dan tradisional, secara 'sambil lalu' di warung kopi. Dan saya merasa kemudian, sulit untuk mengelak.

Karena itu, saya mencoba memelototi dan mengamati sepintas subyek diskusi: "Budaya Membaca, Membaca Budaya". Dan terbersit dipikiran untuk memberi 'makna' fungsional atas topik: bahwa ini dapat merupakan ini sebuah cara untuk mengeja zaman (?).

Proposisi 'budaya membaca' dan proposisi 'membaca budaya', secara praktis mengandung makna sebagai perilaku budaya. Keduanya adalah 'praktik kebudayaan manusia'.

Term 'mem-baca' sendiri, merupakan penggambaran dari bakat purba manusia, yakni keingintahuan. Manusia adalah mahluk, yang digambarkan sebagai ciptaan yang paling 'memiliki rasa penasaran' terhadap sesuatu tertentu. Dan membaca merupakan cara manusia untuk menjawab rasa penasaran itu. Maka esensi mem-baca adalah mencari dan memperoleh pengetahuan.

Jika merujuk pada arti kamus, membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yg tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Maka membaca, salah satunya berkaitan dengan 'mekanisme' melihat dari manusia (baik lahir maupun batin).

Karena itu secara fisik, manusia dikaruniaI oleh Allah SWT, sebuah organ penglihatan (mata lahir), dan 'organ penglihatan' rohani (akal, intuisi dan hati/kalbu). Tentu, dimaksudkan agar manusia itu dapat mengetahui.

Mungkin ini juga, mengapa perintah pertama dalam al-Quran adalah 'iqra' (bacalah). Namun tidak berhenti disitu, pada perintah membaca, tetapi Dia, meminta kepada NabiNya Muhammad SAW, "dengan nama Tuhanmu". "Bacalah dengan nama tuhanmu".

 

Membaca Budaya

Beranjak dari determinasi sederhana itu, maka membaca memiliki makna universal. Kita tidak hanya harus berhenti sekedar membaca secara fisik, tetapi juga secara rohani. Jika 'budaya membaca' adalah satu kebiasaan positif yang harus terus menerus dibina, agar kita berpengetahuan. Yang dengan pengetahauan itulah, manusia dibedakan dengan mahluk ciptaan tuhan lainnya, dalam posisi derajad atau kedekatannya dengan atau terhadap Tuhan.

Dalam konteks inilah, 'budaya membaca' itu menjadi penting dalam 'membaca budaya'. Membaca budaya adalah melihat, memahami, menghayatiti atau merefleksi atau merenungkan pikiran, perilaku, ciptaan manusia dalam kehidupannya.

Ringkasnya, membaca budaya adalah menghayati atau merenungkan kebudayaan kita sendiri sebagai manusia. Karenanya, membaca budaya, boleh kita menyebutnya mengeja zaman.

Saya kira inilah yang berat, sebagai praktik kebudayaan manusia: "menimbang-nimbang ulang kehidupan budaya kita". Sebab membaca budaya, bisa bermakna 'memikirkan kembali kebudayaan kita'.

Berfikir telah menjadi sebuah masalah bagi sebagian besar masyarakat secara umum. Kita 'sudah tidak ada waktu' memikirkan lagi kehidupan kita sendiri. Kita 'senang' menyerah saja pada aliran sungai kehidupan. Kemana arus 'umum' bergerak kesitu kita menuju.

Maka, Plato mengingtkan manusia, melalui kata-katanya: kehidupan yang tidak direnungkan, adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.

Mengeja Zaman

Sejarah kehidupan kita adalah, kelindan dua arus kebudayaan besar. pertama Kebudayaan Tradisional dan kedua Kebudayaan Modern. Zaman ibarat tanah kebun. Pada waktu lampau di kebun itu, manusia hanya menanam pohon Tradisi. Pada waktu kekinian, manusia hanya ingin berkebun pohon Modern, meskipun pohon Tradisi telah mengakar berabad-abab. Namun kebun itu, kini seperti hutan belantara, yang nampak hanya pohon Modern. Pohon tradisi, telah menjelma belukar kerdil, terisisi disudut-sudut tanah kebun zaman Modern, baik dalam makna 'kuantitas' maupun 'kualitas'.

Zaman modern adalah rimbunan kemajuan kehidupan ekonomi manusia, yang ditopang oleh sains dan teknologi. Tidak ada kehidupan yang luput dari modernisasi. Berawal dari kehidupan bidang ekonomi, kemudian menjalar pada kehidupan lainnya, seperti  bidang sosial, politik, hukum dan budaya.

Banyak yang beranggapan tidak relevan lagi melihat dikotomi, antara Tradisionalisme dan Modernisme. Dianggap, bahwa Tradisi sudah menjadi masa lalu, masa sekarang adalah modernisme. Kata mereka, kita tidak ingin kembali ke masa lalu, tetapi bergerak menuju ke masa depan. Menurut hemat saya, dikotomis Tradisi dan Modernisme, masih sangat relevan, karena menyangkut implikasi 'yang menakutkan' dari eksistensi kebudayaan modern ini.

Tidak ada yang dikhawatirkan dari kebudayaan modern, selain eliminasi atau menguapnya nilai-nilai sublim dari kehidupan manusia. Kebudayaan modern, dengan kemegahan sains dan teknologinya, kata Sayyed Hossein Nasr, telah menciptakan dekadensi humanistik (keruntuhan kemanusiaan). Fritjof Capra, menyebut: pada abad 20 kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, suatu krisis kompleks dan multidimensional, yang menyentuh semua lapisan kehidupan manusia, dalam wujud krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis keamanan, krisis politik, hingga krisis moral dan spritualitas. Ini merupakan implikasi atau efek yang mengerikan dan menghancurkan dari aplikasi sains melalui tehnologi, dalam kebudayaan modern.

Ditengah situasi gamang dan chaos karena implikasi tehnologi yang sedimikian massif, manusia merindu nostalgia masa lalu dalam Tradisi. Bagi masyarakat yang belum sepenuhnya tercerabut dari akar Tradisionalismenya, mungkin masih punya harapan. Namuan jika generasi kita, sudah sepenuhnya terpisah dari akar kebudayaan Tradisi, maka mereka akan terus terseret dalam rasa gamang kehidupan yang tiada ujung.

Kebutaan 'paradigmatik' kita, mengenai Tradisi sebagai akar kebudayaan bangsa dan Modernisme sebagai kebudayaan 'parasit permanen' abad mutakhir, menimbulkan, bukan hanya gejala tetapi juga penyakit 'scizofrenia kebudayaan'. Diam-diam kita mengidamkan Tradisi, karena merupakan 'esensi budaya' manusia, saat bersamaan kita tetap cemas dan khwatir dalam kenikamatan modernisme.

Penutup

Maka membaca budaya sebagai 'metode' mengeja zaman, adalah (1) Mendalami pikiran/paradimga Tradisi, sebagai sebagai sistem hidup manusia yang berbasis nilai-nilai moral dan etik dari sumber-sumber spritualisme dan/atau religiusitas tertentu. Tuhan sebagai pusat kebudayaan. (2) Memahami spirit/paradigma Kebudayaan Modern, sebagai sistem kehidupan manusia yang berbasis pada nilai dan moral rasionalisme ilmiah, yang diaplikasikan dalam tehnologi dengan segala levelnya, yang akhirnya membentuk masyarakat industri. Dari era industri 1.0 hingga 5.0. Dan manusia sebagai pusat segala aktivitas kehidupan. (3) Mengetahui secara historis, bahwa Tradisi merupakan awal sejarah dan kebudayaan modern bukan akhir sejarah, tetapi 'fase sejarah' yang mendorong manusia untuk kembali kepada Tradisi. Sebagaimana puisi Sanai, menyebut: kebenaran yang datang awal, dia akan tiba terakhir.

SM. Januari 2025 M / Syahban 1446 H

   

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun