Dalam konteks inilah, 'budaya membaca' itu menjadi penting dalam 'membaca budaya'. Membaca budaya adalah melihat, memahami, menghayatiti atau merefleksi atau merenungkan pikiran, perilaku, ciptaan manusia dalam kehidupannya.
Ringkasnya, membaca budaya adalah menghayati atau merenungkan kebudayaan kita sendiri sebagai manusia. Karenanya, membaca budaya, boleh kita menyebutnya mengeja zaman.
Saya kira inilah yang berat, sebagai praktik kebudayaan manusia: "menimbang-nimbang ulang kehidupan budaya kita". Sebab membaca budaya, bisa bermakna 'memikirkan kembali kebudayaan kita'.
Berfikir telah menjadi sebuah masalah bagi sebagian besar masyarakat secara umum. Kita 'sudah tidak ada waktu' memikirkan lagi kehidupan kita sendiri. Kita 'senang' menyerah saja pada aliran sungai kehidupan. Kemana arus 'umum' bergerak kesitu kita menuju.
Maka, Plato mengingtkan manusia, melalui kata-katanya: kehidupan yang tidak direnungkan, adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.
Mengeja Zaman
Sejarah kehidupan kita adalah, kelindan dua arus kebudayaan besar. pertama Kebudayaan Tradisional dan kedua Kebudayaan Modern. Zaman ibarat tanah kebun. Pada waktu lampau di kebun itu, manusia hanya menanam pohon Tradisi. Pada waktu kekinian, manusia hanya ingin berkebun pohon Modern, meskipun pohon Tradisi telah mengakar berabad-abab. Namun kebun itu, kini seperti hutan belantara, yang nampak hanya pohon Modern. Pohon tradisi, telah menjelma belukar kerdil, terisisi disudut-sudut tanah kebun zaman Modern, baik dalam makna 'kuantitas' maupun 'kualitas'.
Zaman modern adalah rimbunan kemajuan kehidupan ekonomi manusia, yang ditopang oleh sains dan teknologi. Tidak ada kehidupan yang luput dari modernisasi. Berawal dari kehidupan bidang ekonomi, kemudian menjalar pada kehidupan lainnya, seperti  bidang sosial, politik, hukum dan budaya.
Banyak yang beranggapan tidak relevan lagi melihat dikotomi, antara Tradisionalisme dan Modernisme. Dianggap, bahwa Tradisi sudah menjadi masa lalu, masa sekarang adalah modernisme. Kata mereka, kita tidak ingin kembali ke masa lalu, tetapi bergerak menuju ke masa depan. Menurut hemat saya, dikotomis Tradisi dan Modernisme, masih sangat relevan, karena menyangkut implikasi 'yang menakutkan' dari eksistensi kebudayaan modern ini.
Tidak ada yang dikhawatirkan dari kebudayaan modern, selain eliminasi atau menguapnya nilai-nilai sublim dari kehidupan manusia. Kebudayaan modern, dengan kemegahan sains dan teknologinya, kata Sayyed Hossein Nasr, telah menciptakan dekadensi humanistik (keruntuhan kemanusiaan). Fritjof Capra, menyebut: pada abad 20 kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, suatu krisis kompleks dan multidimensional, yang menyentuh semua lapisan kehidupan manusia, dalam wujud krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis keamanan, krisis politik, hingga krisis moral dan spritualitas. Ini merupakan implikasi atau efek yang mengerikan dan menghancurkan dari aplikasi sains melalui tehnologi, dalam kebudayaan modern.
Ditengah situasi gamang dan chaos karena implikasi tehnologi yang sedimikian massif, manusia merindu nostalgia masa lalu dalam Tradisi. Bagi masyarakat yang belum sepenuhnya tercerabut dari akar Tradisionalismenya, mungkin masih punya harapan. Namuan jika generasi kita, sudah sepenuhnya terpisah dari akar kebudayaan Tradisi, maka mereka akan terus terseret dalam rasa gamang kehidupan yang tiada ujung.