Sudah konsekuensi logis, kehadiran organisasi negara memberi pengaruh pada perubahan masyarakat. Negara dalam kebudayaan modern, umumnya disebut negara-hukum. Negara-hukum mengorganisir perubahan dengan pembangunan melalui regulasi.
Hukum, jika dirujukkan pada pandangan Roscoe Pound, konsep itu dipahami sebagai law is a tool of social engeneering, hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dengan demikian, negara modern, dalam konteks tertentu, seringkali, bahkan pada dasarnya, menjadikan regulasi sebagai sarana menciptakan 'arah ideal' masa depan masyarakat, pada semua bidang kehidupan.
Negara bersama otoritas politiknya, dengan mendasarkan diri pada kedaulatan hukum, memiliki 'dominasi masif' dalam proses perubahan sosial. Otoritas itu dipandu oleh kehendak konstitusional, berkenaan cita-cita ideal yang hendak digapai berdasarkan konstitusi. Negara punya dua tangan untuk mendorong kemajuan masyarakat, yakni: kekuasaan (politik) dan hukum (regulasi).
Bahwa 'tangan' itu kemudian juga menjangkau bidang kesusastraan, yang merupakan bagian kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Merupakan peran dari keberadaan negara-hukum, yang beroperasi melakukan pembangunan di semua bidang, baik dalam dimensi pembangunan jasmani maupun mental-rohani.
Maka 'kuasa' politik-hukum, tentu tidak meluputkan untuk menyisipkan "fenomena" bersastra warga negara, ke dalam kerangka regulasi negara.
Dengan menjadikannya materi muatan kebijakan hukum, sebagai suatu upaya negara mewujudkan cita-cita pembangunan nasional, yang konstitutif. Ini sebagai wujud dari apa yang dinamakan sebagai 'tanggung jawab negara'.
Â
Jejak Regulasi 'Sastra'
Jika, menelisik konstitusi secara seksama, baik sebelum maupun pasca-amandemen, tidak ditemukan kata 'sastra' dalam teks hukum dasar itu. Hal ini tidak bermakna negara mengabaikan salah satu 'elemen rohani peradaban manusia'. Sebagaimana istilah agama, peradaban, kebudayaan, bahasa, seni, pendidikan, tradisional, atau ilmu pengetahuan, dan lain-lain, dengan begitu gamblang dapat ditemukan dalam teks konstitusi tersebut.
Harus dengan rela untuk dimaklumi, bahwa penyusun konstitusi tampaknya menyerahkan urusan 'sastra' dalam terminologi umum yang 'meliputi', seperti dalam kata kebudayaan, bahasa dan seni dan/atau istilah lain yang 'bersenyawa'.