Betapa menyedihkannya memang, jika negara abai terdadap dunia sastra. Sebuah dunia, yang esensinya disebutkan Sir Muhammad Iqbal, sebagai elemen kemanusiaan yang memiliki kekuatan untuk membangkitkan kesadaran dan membangun peradaban lebih tinggi.
Meski konstitusi tidak menyebut langsung kata 'sastra', baik dalam preambule maupun batang tubuhnya, namun negara membuka ruang bagi pembangunan dunia sastra, dengan diikutsertakan secara permanen sebagai 'suplementasi' dalam kebijakan pembangunan bidang kebudayaan dan bahasa.
Hal ini dapat dilihat jejaknya, pada regulasi 'pertama' yang ikut terkait sastra di dalamnya, yakni UU No. 24/2009. Secara hierarki melahirkan turunannnya dalam PP No. 57/2004, selanjutnya dalam pengaturan lebih teknis dalam Permen No. 42/2018.
Beberapa klausula normatif yang dikonstruksi regulator, dalam format kebijakan hukum tersebut, adalah bahwa pengembangan sastra dilakukan terhadap sastra yang bermutu dan bernilai luhur. Memantapkan kedudukan sastra sebagai kekayaan budaya bangsa dan sebagai pengungkapan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan.
Dalam kerangka regulasi tersebut, negara telah membebani dirinya sebagai 'pemegang kuasa dalam daulat hukum' dengan 'kewajiban' mengembangkan, membina, dan melindungi sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman. Dan agar sastra tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Secara norma dapat dipahami, politik-hukum kebijakan dunia sastra adalah dikehendakinya dunia sastra tetap mewujud sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat, hidup dengan kokoh. Sastra yang bermutu dan bernilai luhur, sebagai gambaran identitas kebangsaan, lokal dan nasional. Juga dengan segala manfaat dan fungsionalitasnya bagi terbangunnya peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik.
Â
'Kisruh' Kebijakan Sastra
Namun, melihat kisruh belakangan ini, mengenai produk 'kebijakan sastra' berupa penerbitan buku "Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra" Tahun 2024, oleh Kemendikbudristek. Yang lalu ditarik kembali, karena banyak kritik publik atas rendahnya kualitas 'hasil' yang direkomendasikan. Konten unsur kekerasan dan pornografi menjadi salah satu pangkal 'kisruh'.
Dan kecurigaan, buku panduan itu dikerjakan AIthor, sehingga berimplikasi pada data yang invalid. Substansi pelaksanaan 'kebijakan sastra' itu, kemudian menjadi sorotan.
Implikasi yang paling serius: pertaruhan kredibiltas sastrawan-sastrawan 'nama besar' yang 'terlibat' dalam kerja kuratorialnya. 'Kebijakan sastra' ini, seyogyanya dipandang sebagai kerja-kerja per-adab-an. Sebuah kerja, yang selayaknya 'mirip' ketika sastrawan menciptakan karyanya:Â meletakkan titik-titik kecil Cahaya pada lapisan dasar peradaban.