Dan hari ini kita mutlak kembali dalam diri kita di dusun-dusun yang jauh di dalam kalbu kita menengok struktur-struktur yang mungkin saja kini retak dan terpecah-pecah, kembali menjenguk lembah-lembah di dasar hati yang barangkali saat ini rumputnya sudah mulai membelukar dan tidak terawat sehingga hanya dihuni ular-ular liar berbisa nafsu duniawi.
Kita tidak perlu menawar-nawar lagi berapa harga perjalanan menuju ke langit untuk melihat dan memperjelas persoalan duniawi kita dari atas. Rasa malu untuk bertemu dengan Sang Maha Bijaksana melaporkan hasil kerja kita yang tidak wajar dalam pandangan-Nya kita singkirkan jauh-jauh karena sesungguhnya Dia tempat melaporkan segala persoalan paling patut dan tepat dan kita memohon energi baru untuk melanjutkan perantauan di tempat lain di kota yang sama.
Kita hilangkan galau di hati dan kacau di kepala, memulai langkah baru tanpa ragu-ragu menjelmakan kehendak Allah dalam kehendak kita tanpa harus diselingi lagi dengan kepura-puraan.
Sekarang mari kita mencari Indonesia dalam perantauan baru kita, yang telah berada dibalik telapak kita bertahun-tahun lamanya tanpa kita sadari.
Â
10 April 1999
#Sumber Esai: Syafruddin Muhtamar, Mengubur Air Mata, Tanda Pustaka, 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H