KITA rakyat di negeri ini seperti perantau dari suatu daerah yang lain, daerah kita tempati kini adalah daerah yang telah kita tata sedemikian rupa dengan ragam aliran estetika yang lahir dari mimpi-mimpi dan semangat perantau atau keinginan-keinginan merubah daerah asal menjadi tempat indah menikmati relaksasi hidup.
Sungguh gemerlap sekarang kota yang kita cipta dari tetes keringat perjuangan meninggalkan keterbelakangan masa silam. Meninggalkan air mata penderitaan masa-masa pahit dan kini bangunan-bangunan kita menjulang dan bertebaran seperti pengolok-pengolok langit, melambai tangan selamat datang bagi generasi baru dan menawarkan masa depan baginya, kota kita adalah kota impian masa datang, kota dengan lampu-lampu sejuta warna menghibur hati, kota yang dalam kesadaran nafsu enggan kita tinggalkan.
Kita beri saja nama perantauan kita itu sebagai Indonesia. Sebuah nama yang lahir dari sebuah romantisme masa lalu dan selalu indah dalam kenangan. Sebuah nama yang selalu dipanggil dengan kelembutan, keramahtamaan, toleransi, persaudaraan atau kemesraan alam hijau ranau. Nama yang dinina bobok kesejahteraan dan ketentraman. Nama yang menyimpan segudang harapan bagi penghuninya. Nama yang telah kita kelola menjadi sebuah masa depan.
Semangat yang membludak dan mendesak membuat kita salah mengelola tempat perantauan itu. Di tanah itu kita bangun gedung-gedung bertingkat, kita bikin jalan sekian jidat kita, kita buat rumah-rumah dengan bahan kaca, kita mengkonstruksi sistem kehidupan yang dalam benak kita bisa menghantarkan hidup ini ke hari yang cemerlang, menandatangani kesempatan bersama untuk saling memanusiakan, kita teken kontrak untuk tetap setia pada harapan dan cita-cita bersama, tetapi kita lupa menyadari bahwa kita hanyalah perantau-perantau yang menumpang hidup dan meminjam tanah, gunung-gunung, sungai-sungai, langit, pohon-pohon dan air hujan serta musim yang silih berganti datang. Kita tidak menyadari bahwa pemilik tempat perantauan kita adalah Allah yang menciptakan kita dengan potensi kemanusiaannya. Menciptakan harapan kita untuk hidup damai dan bahagia, kita mungkin khilaf atau enggan mengikuti kehendak-Nya yang lebih dahulu dari harapan dan cita-cita kita yang lahir dari kepala dan semangat. Kita mungkin lupa atau hanya pura-pura mensinkronkan kehendak-Nya dengan kehendak kita agar kita tidak dianggap syirik dalam membangun.
Tetapi memang ternyata kita telah dihinggapi kemusyrikan dalam mengelola kehidupan-Nya yang kita pinjam itu. Kita hanya mengikuti kehendak kita sendiri dalam mengatur kehidupan itu yang sungguh-sungguh kita miliki kemampuan terbatas untuk menanganinya.
Kita kemudian kelabakan dan seperti kehilangan harapan melihat kota yang telah siap memasuki peradaban tinggal landas, telah siap memasuki pintu emas cita-cita kita dan tinggal selangkah menari di atas awan dan bernyanyi senang, tiba-tiba menjadi kota yang dilanda gempa social dan rusuh kemanusiaan, menjelma kota tanpa penerangan dimalam hari dan tanpa matahari disiang hari, menjadi kota yang tidak perduli lagi terhadap kita dulu yang ditancapkan sebelum kelahirannya, kota yang kehilangan waktu untuk menjawab masa depan kita, kota yang tidak lagi menawarkan tempat untuk beristirah dan bermimpi.
Kitapun galau dan sedih, meratapi proyek kerja yang tidak menjanjikan apa-apa. Kita tinggal menatap hampa masa depan dan berusaha mempertahankan sisa-sisa kebahagiaan yang masih tertinggal dalam kondisi batin yang menjerit dan menangis, kehilangan banyak cita-cita tanpa disangka-sangka dan diluar nalar rencana.
Pertanyaan muncul dimana-mana mempertanyakan dimana perginya masa depan dan jalan mulus yang dulu kita tempuh, dimana harapan itu kini, dimana kertas kerja ideal yang begitu cantik kita pajang di setiap sudut kamar, ketika berbaring sesekali kita menatap dan menghujaninya dengan pujian.
Mungkinkah tidak ada lagi ruang dan waktu memulai kembali perantauan baru atau setidaknya kembali menziarahi nama yang dulu begitu indah dan kita rawat baik-baik. Nama yang kini tinggal dibalik tumpukan dosa-dosa kita, melukis kebahagiaan di atas kanvas. Nama yang begitu sangat menatap kita karena memperlakukannya tidak sesuai dengan keinginannya. Nama yang kini marah dengan muka yang merah padam, mencaci dan memaki kita karena memperlakukannya seperti pelacur.
Ada baiknya kita mesti mengakui dengan jujur bahwa kita telah melakukan kerja rantau yang keliru dan salah kaprah. Seharusnya dengan ikhlas dan niat tulus kita mengakui bahwa kita adalah Malin Kundang-Malin Kundang pembangunan yang melupakan doa tulus seorang Ibu. Dan melupakan bahwa kita anak-anak yang memiliki ayah dan ibu yang selalu setia menemani kita dengan doa-doa sepanjang hari dan tanpa letih.
Dan hari ini kita mutlak kembali dalam diri kita di dusun-dusun yang jauh di dalam kalbu kita menengok struktur-struktur yang mungkin saja kini retak dan terpecah-pecah, kembali menjenguk lembah-lembah di dasar hati yang barangkali saat ini rumputnya sudah mulai membelukar dan tidak terawat sehingga hanya dihuni ular-ular liar berbisa nafsu duniawi.
Kita tidak perlu menawar-nawar lagi berapa harga perjalanan menuju ke langit untuk melihat dan memperjelas persoalan duniawi kita dari atas. Rasa malu untuk bertemu dengan Sang Maha Bijaksana melaporkan hasil kerja kita yang tidak wajar dalam pandangan-Nya kita singkirkan jauh-jauh karena sesungguhnya Dia tempat melaporkan segala persoalan paling patut dan tepat dan kita memohon energi baru untuk melanjutkan perantauan di tempat lain di kota yang sama.
Kita hilangkan galau di hati dan kacau di kepala, memulai langkah baru tanpa ragu-ragu menjelmakan kehendak Allah dalam kehendak kita tanpa harus diselingi lagi dengan kepura-puraan.
Sekarang mari kita mencari Indonesia dalam perantauan baru kita, yang telah berada dibalik telapak kita bertahun-tahun lamanya tanpa kita sadari.
Â
10 April 1999
#Sumber Esai: Syafruddin Muhtamar, Mengubur Air Mata, Tanda Pustaka, 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H