Dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia menjadi presidensi forum bergensi dunia, G20. Perhelatannya terselenggara sejak Januari, dan memuncak dalam klimaks Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), 16 November 2022, lalu. Sebagai pemegang presidensi, Indonesia memimpin serangkain pertemuan 'ahli' memalui jalur sherpa. Berlelah-lelah bersama 20 delegasi negara maju, mencari solusi permasalahan dunia.
Keja sherpa, memastikan titik-titik kesepahaman dan kesepakatan solutif, atas problem finansial dan perdagangan dunia. Presidensi Indonesia dalam kerja intelektual' global ini, menggaris 3 isu agenda mendasar: arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan transisi energi berkelanjutan.
Menjelang satu dekade terakhir, dunia diguncang banyak peristiwa besar. Pandemi Covid-19, dengan kematian massif penduduk bumi, dalam periode singkat, mencengangkan mata. Fenomena disrupsi digital menggejala kuat era pandemi. Gejalanya muncul diluar prediksi.
Bencana pandemi yang belum surut sepenuhnya, tranformasi digital makin menguat. Kini, problem energi dunia, menimbulkan resah. Krisis energi berdampak secara politik diseluruh belahan dunia. Negara dengan predikat 'sejahtera' maupun negara 'pra-sejahtera' terpapar sindrom krisis ini.
Kerusuhan meledak dimamana-mana. Warga turun kejalan-jalan, meminta keselamatan finansial, minta pekerjaan, minta pajak diturunkan. Ini demi bertahan dari beratnya pemenuhan kebutuhan hidup. Kelaparan mengancam. Pekerjaan tiba-tiba hilang karena PHK. Peluang hidup sejahtera menyempit. Masa depan manusia suram, tergerus krisis energi global. Pemimpin politik, cemas mendayagunakan kekuasaan mereka.
Maka prioritas pembahasan G20 Bali ini, menjadi relevan dengan situasi terkini global. Juga wujud 'moril' netralitas dalam pemilihan isu dan agenda. Ditengah polarisasi politik dunia karena perang Rusia dan Ukraina. Presidensi Indonesia dalam perhelatan KTT G20 kali ini, dihantui rasa gamang. Antara obvektivitas memandang problem manusia dunia, dengan tarikan kepentingan dari 'tegangan politik' antara 'para pihak yang bermain' dalam 'perang menentukan' itu.
Hal ini nampak dalam sikap moril dari komunike (leaders' declaration), yang akhirnya dapat ditelurkan KTT G20 XVII ini. Dalam komunikenya, para pemimpin dunia itu, bersepakat: mengutuk perang di Ukraina, dianggap sebab bagi penderitaan manusia dan dampaknya merapuhkan kemampuan ekonomi dunia. Suatu diluar kelaziman sejarah komunike KTT G20.
Forum ekonomi dan keuangan global, menjadi ajang politisasi isu keamanan. Dan bahkan 'tidak mungkin' gagasan komunike menjadi 'kebijakan penekan' negara anggota yang berseberangan arus utama, 'jalur fundamental' mayoritas negara anggota. 'Dominasi plat Barat' masih kuat bagi kesimbangan kepentingan 'plat Timur', dalam situasi 'perang' yang dipersoalkan. Â
Komunike adalah tradisi KTT. Konsensual sikap moril atas masalah ekonomi dan finansial dunia. 'Hasil' akhir kerja otak-atik otak pemimpin dunia, sejak G20 melakukan pertemuan-pertemuannya, 2 dekade lalu. Pernyataan moral pemimpin dunia, yang terhimpun dalam kelompok yang menguasai 90 % produk nasional bruto dunia, 80 % perdagangan dunia dan membawahi 2/3 penduduk bumi. Kelompok pemimpin dengan skope strategis sangat efektif.
Namun, substansi dan motiv utama kelompok pemimpin ini hanya semata-mata ekonomi dan finansial. Setiap tahun, digelar pertemuan 'mewah' dan 'istimewa'. Menyita begitu banyak biaya, tenaga dan waktu, untuk urusan uang dan perdagangan.
Dalam faktanya, bertahun-tahun organisasi ini menangani 'masalah ekonomi manusia'. Justeru dunia, terus-menerus diterpa bencana ekonomi 'tak terselesaikan'. Bahkan negara, organisasi pemimpin dan organisasi gabungan negara-negara, membangun usaha penyelesaian masalah dunia dan nasional. Tetapi kehidupan mansuia, tetap saja dalam posisi 'ujung tanduk'. Rapuh, rawan dan rentan dalam selimut masalah yang bermata rantai tanpa ujung.
Kesalahan 'terbesarnya', para pemimpin dunia memandang masalah manusia dari sudut sempit 'material'. Dan mengasumsikan penyelesaian melalui uang dan pembangunan eknomi. Maka, tidak ada jalan keluar sejati yang dapat mereka ditemukan. Kecuali jalan penyelesaian semu.
Kapasitas kepemimpinan mereka sebagai pengendali 'kebijakan global', jika digunakan dalam rangka menyelamatkan manusia, sepatutnya dengan rendah hati mempetimbangkan ulang sisi kehidupan rohoni mahluk manusia. Kapasitas mereka akan mengerdil dengan hanya backup sains duniawi melulu, tanpa dukungan sains ukhrawi.
Para pemimpin ini, harus mengambil 'peran' eskatologis. Mereka sedang memimpin mahluk, yang bukan semata-mata biologis, tetapi juga rohani. Mereka bertanggunjawab atas manusia, yang tidak hanya pada hidup materialnya tetapi juga hidup rohaninya. Manusia tidak hanya berpengharapan pada surga duniawi tetapi juga surga uhkrawi.
Jika pemimpin dunia tidak mempertimbangan esensi kehidupan rohani, memahami urgennya membangun kesejahteraan rohani. Maka komunike KTT apapaun, termasuk komunike KTT G20 ini, sejak dari pelaksanaan pertamanya di Washington, hingga terakhir di Pulau Dewata Bali, dan seterusnya, hanyalah bentangan sejarah mengenai optimisme semu.
#Sumber Tulisan: Harian Fajar, edisi 26 November 2022, Rubrik Opini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H