Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Sisi Lain) Komunike KTT G20, Sejarah Optimisme Semu

25 November 2022   08:14 Diperbarui: 27 November 2022   16:24 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam faktanya, bertahun-tahun organisasi ini menangani 'masalah ekonomi manusia'. Justeru dunia, terus-menerus diterpa bencana ekonomi 'tak terselesaikan'. Bahkan negara, organisasi pemimpin dan organisasi gabungan negara-negara, membangun usaha penyelesaian masalah dunia dan nasional. Tetapi kehidupan mansuia, tetap saja dalam posisi 'ujung tanduk'. Rapuh, rawan dan rentan dalam selimut masalah yang bermata rantai tanpa ujung.

Kesalahan 'terbesarnya', para pemimpin dunia memandang masalah manusia dari sudut sempit 'material'. Dan mengasumsikan penyelesaian melalui uang dan pembangunan eknomi. Maka, tidak ada jalan keluar sejati yang dapat mereka ditemukan. Kecuali jalan penyelesaian semu.

Kapasitas kepemimpinan mereka sebagai pengendali 'kebijakan global', jika digunakan dalam rangka menyelamatkan manusia, sepatutnya dengan rendah hati mempetimbangkan ulang sisi kehidupan rohoni mahluk manusia. Kapasitas mereka akan mengerdil dengan hanya backup sains duniawi melulu, tanpa dukungan sains ukhrawi.

Para pemimpin ini, harus mengambil 'peran' eskatologis. Mereka sedang memimpin mahluk, yang bukan semata-mata biologis, tetapi juga rohani. Mereka bertanggunjawab atas manusia, yang tidak hanya pada hidup materialnya tetapi juga hidup rohaninya. Manusia tidak hanya berpengharapan pada surga duniawi tetapi juga surga uhkrawi.

Jika pemimpin dunia tidak mempertimbangan esensi kehidupan rohani, memahami urgennya membangun kesejahteraan rohani. Maka komunike KTT apapaun, termasuk komunike KTT G20 ini, sejak dari pelaksanaan pertamanya di Washington, hingga terakhir di Pulau Dewata Bali, dan seterusnya, hanyalah bentangan sejarah mengenai optimisme semu.

#Sumber Tulisan: Harian Fajar, edisi 26 November 2022, Rubrik Opini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun