Secara umum dapat dikatakan, perbedaan mendasar dari dua bentuk kebudayaan manusia ini adalah: Kebudayaan Tradisional berpusat dan berorientasi pada teosentrisme (Tuhan/kegaiban/metafisika), dan Kebudayaan Modern berpusat dan berorientasi pada antrophosentrisme (Manusia/alam natural/fisik).
Fenomena Budaya 'Bissu'Â
Bissu merupakan salah satu kebudayaan tertua dalam sejarah kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Dalam literatur, eksistensi budaya Bissu adalah pra-Islam. Kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pra-Islam, dalam konteks kepercayaan, dapat diidentifikasi dalam beberapa budaya yang berbasis pada kepercayaan, seperti budaya Tolotang, budaya Patuntung dan budaya Attoriolong.
Kaum Bissu merupakan penganut/pelaksana Attoriolong, yang merupakan sistem kepercayaan masyarakat Bugis pra-Islam. Sebagai suatu sistem kepercayaan, Attoriolong memiliki pranata sendiri: pertama, kehidupan duniawi (atuwong ri lino). Mempercayai adanya Nyawa sebagai yang menghidupkan, sumange atau sunge yang membuat manusia dapat beraktifitas. Kedua, kehidupan akhirat (esso ri munri atau pammasareng). Percaya bahwa dunia ini terdiri dari dunia nyata dan dunia maya. Dalam dunia maya/gaib terdapat mahluk-mahluk yang memilki kekuatan tertentu. Kaum Bissu-lah yang mampu memasukinya dan menjadi perantara bagi manusia untuk membangun komunikasi dengan dunia gaib. Ketiga, sakit dan kematian. Sakit/kematian dipercaya sebagai akibat tingkahlaku manusia yang 'melanggar' dan membuat murkah penghuni di alam gaib, karena telah merasa terganggu. Keempat, dunia para dewa (dewatae). Percaya bahwa para dewa yang menentukan nasib semua yang bergerak. Ada dewa yang berada di langit, di bumi, dan di air. Penghormatan pada dewa, biasanya dilakukan dengan sesajen dalam upacara. Kelima, mahluk halus (tau tenrita). Selain mempercayai adanya dewa, juga percaya pada mahluk halus lain, yang bukan dewa. Keenam, leluhur (tau rioloe). Percaya pada roh leluhur yang abadi. Roh ini menitis pada pribadi tertentu dari satu generasi ke generasi lain. Ketuju, keramat dan sakti (makerrek). Percaya pada kekuatan gaib pada peristiwa alam atau individu. Kedelapan, jimat (ulawu na simak). Percaya pada benda-benda tertentu bisa memberi kesaktian atau manfaat/keberuntungan tertentu. Kesembilan, persembahan (massompa). Upacara ritual yang melibatkan orang banyak.
Dalam perjalanannya, kaum Bissu dalam praktik budayanya mengalami banyak tantangan. Di era masuknya Islam di jazirah Sulawesi Selatan, budaya Bissu berbenturan secara langsung dengan praktik ajaran Islam. Sehingga berdampak pada 'sinkretisisme' praktik budaya: kaum Bissu menjadi menganut ajaran islam, sekaligus pada saat yang sama, praktik budaya makbissu masih dilaksanakan.
Di era pemerintahan republik, eksistensi budaya Bissu makin perlahan meredup. Beriring makin masifnya kekuasaan politik modern, dengan kebijakan hukum, pelaksaaan praktik budayaa bissu makin terbatas. Berbeda ketika politik masih dalam sistem kerajaan, kaum bissu menempati salah satu posisi 'strategis' dalam kerajaan. Posisi ini yang memungkinkan budaya Bissu menjadi dominan dalam kehidupan masyarakat, dimasa lalu.
Dominasi Budaya Modern
Kebijakan pemerintahan republik, yang berorientasi pada pembangunan masyarakat dalam kerangka modernisme, dalam jangka panjang telah berdampak secara langsung pada kehidupan Tradisional, bukan hanya terhadap budaya Tradisonal wilayah Sulawesi Selatan, tetapi hampir pada semua elemen tradisonal di wilayah pemerintahan modern RI. Secara perlahan namun pasti, bidang-bidang kehidupan masyarakat dimodernisasi, melalui kebijakan negara.
Dengan makin dominannya Kebudayaan Modern dalam semua lapisan kehidupan masyarakat, tidak hanya secara nasional, tetapi juga secara global, menyebabkan seluruh kehidupan Tradional mengalami 'kemunduran'. Dominasi Kebudayaan Modern ini, menyebabkan sebagaian besar budaya tradisonal mengalami mengalihan 'posisi' di era modern ini: dari posisi sebagai 'pusat kebudayaan masyarakat' menjadi 'elemen sistem kebudayaan': dimasa lalu menjadi 'subyek' kebudayaan, dimasa sekarang menjadi 'obyek' kebudayaan.
Kegiatan industri sebagai bagian pokok Kebudayaan Modern, menarik budaya tradisional dalam pusaran industri pariwisata. Kebudayaan Tradisional dalam kerangka Kebudayaan Modern dipandang sebagai 'bahan jualan', untuk memajukan perekonomian masyarakat.