Dimana matamu!
Bisu semakin kental memenuhi ruangan jiwamu yang gamang antara perjuangan dan hukuman. Perjuangan atas nama tuhan dan hukuman atas nama manusia. Zikir melata di luar sana, menambah pekat malam yang menuju tua, seakan menyanyikan kebenaran lain yang sukar terpahami oleh jantung malam yang berdegub tak beraturan. Kebenaran disembunyikan di balik lipatan gelap hati yang gulita pada bentangan selimut sang raja yang mendengkur. Kebenaran menutup diri dari hati pejuang yang buta.
Melihatmu aku terseret badai, menghempaskan helai kertas dan menumpahkan  tinta asaku, puisiku enggan mengabadikan namamu di tengah bait-baitnya. Melihatmu aku menjadi terdakwa di kursi pikiranku yang membatu, aku tertunduk tanpa pembelaan pada kaki yang berlari meninggalkan hasrat kematiannya sendiri, setelah tangannya melemparkan kematian bagi orang lain.
Melihatmu aku tercenung: Mungkinkah Tuhan merestui pembunuhan atas namanya terhadap kematian yang datang tanpa tanda permusuhan atau isyarat peperangan?! Mungkin dunia telah kehilangan isyarat-isyarat kebenaran dan keburukannya, sehingga setiap kematian adalah ketidakmengertian dan perjuangan adalah kesia-siaan. Â
Kegamangan sempurna membisu dalam siulan: pembunuhan tidak dibenarkan kecuali turut dalam perang bersama kekasihNya. Jika kau berjuang tanpa kekasihNya, maka tiada perjuangan kecuali kesaliman.Â
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Â Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H