Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sang Teroris Memeluk Bulan dengan Mata Gamang

27 April 2022   10:28 Diperbarui: 27 April 2022   10:36 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SANG TERORIS MEMELUK BULAN DENGAN MATA GAMANG

Aku melihatmu diseret ribuan tangan sebagai terdakwa ke pengadilan bumi, yang musimnya tidak lagi menumbuhkan rerumputan, juga mengusir nyanyian burung baik pada waktu pagi atau pada waktu petang. Kau dituduh mata boneka telah meledakkan ribuan kepala tak berdosa atas nama Tuhan, membakar  rumah-rumah suci atas nama kesucian. Ribuan kepal tangan meninju langit, mengenggam amarah dan meneriakkan namamu dengan nafas kebencian. Menuntut keadilan hakim yang jubahnya disulam benang undang-undang yang dipintal di bawah telapak kaki raja.

Aku melihatmu duduk di kursi pesakitan mengangkat dada pembelaan, membekukan jari-jari menjepit ayat-ayat suci, mengacung ke udara dan mengguncang sunyi disetiap hati yang diam. Tetapi tuduhan meruncing dan sepurnama lagi tajamnya akan menghujam ke ulu hatimu. Kematian akan menghantarkan hingga di depan pintu surga aganmu. Suara pembelaanmu terbang bersama angin kemarau yang bertiup bersama gerah musim yang muncul dari rongga terompah sang raja.

Aku melihatmu termenung dalam gelombang udara hampa jeruji jiwamu yang pengap, menanti eksekusi mati yang keputusannya diteriakkan mulut palu sang hakim diantara senyuman para pencari keadilan yang berjejer antri di atas jembatan hukum untuk dilalui dewi keadilan menemui kehidupan mereka. Matamu kosong diisi ketidakmengertian berlari-lari sempoyongan mengitari kesadaranmu. Kepalamu tengadah ke langit-langit semesta bisu yang mendekap misterinya dengan tenang dan tak terjamah, desah jiwamu berkata :

Keadilan

Dari manakah engkau datang!

Tiba-tiba kepala palu persidangan

Memutuskan kematianku

Setelah usai purnama, besok

Dimana matamu!

Dimana matamu!

Bisu semakin kental memenuhi ruangan jiwamu yang gamang antara perjuangan dan hukuman. Perjuangan atas nama tuhan dan hukuman atas nama manusia. Zikir melata di luar sana, menambah pekat malam yang menuju tua, seakan menyanyikan kebenaran lain yang sukar terpahami oleh jantung malam yang berdegub tak beraturan. Kebenaran disembunyikan di balik lipatan gelap hati yang gulita pada bentangan selimut sang raja yang mendengkur. Kebenaran menutup diri dari hati pejuang yang buta.

Melihatmu aku terseret badai, menghempaskan helai kertas dan menumpahkan  tinta asaku, puisiku enggan mengabadikan namamu di tengah bait-baitnya. Melihatmu aku menjadi terdakwa di kursi pikiranku yang membatu, aku tertunduk tanpa pembelaan pada kaki yang berlari meninggalkan hasrat kematiannya sendiri, setelah tangannya melemparkan kematian bagi orang lain.

Melihatmu aku tercenung: Mungkinkah Tuhan merestui pembunuhan atas namanya terhadap kematian yang datang tanpa tanda permusuhan atau isyarat peperangan?! Mungkin dunia telah kehilangan isyarat-isyarat kebenaran dan keburukannya, sehingga setiap kematian adalah ketidakmengertian dan perjuangan adalah kesia-siaan.  

Kegamangan sempurna membisu dalam siulan: pembunuhan tidak dibenarkan kecuali turut dalam perang bersama kekasihNya. Jika kau berjuang tanpa kekasihNya, maka tiada perjuangan kecuali kesaliman. 

Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.  Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun