Pasca mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) masih aktif memberikan pengaruh politiknya, terutama dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Dalam sebuah wawancara, Jokowi secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap 84 calon kepala daerah, termasuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Pernyataan ini memicu perdebatan di kalangan publik dan pengamat politik, karena dianggap sebagai bentuk campur tangan seorang mantan presiden dalam proses politik.
Fenomena ini dapat dilihat sebagai indikasi dari post-power syndrome, di mana seorang mantan pemimpin sulit melepaskan pengaruhnya dan tetap terlibat dalam dinamika kekuasaan. Jokowi, yang selama dua periode menjabat sebagai presiden, memiliki basis dukungan politik yang kuat, baik dari partai koalisinya maupun dari jaringan politik yang ia bangun selama memimpin. Dukungan ini memberikan peluang baginya untuk terus memainkan peran politik meski tidak lagi berada di pucuk kekuasaan.
Keterlibatan Jokowi dalam mendukung kandidat Pilkada juga menimbulkan pertanyaan tentang etika politik dan netralitas seorang mantan presiden. Beberapa pihak mengkritik langkah ini sebagai upaya mempertahankan pengaruh politiknya melalui koalisi yang ia bentuk selama menjabat. Di sisi lain, pendukung Jokowi menilai langkah ini sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan program yang telah ia jalankan.
Dari perspektif teori, perilaku ini dapat dikaitkan dengan konsep judicialization of politics (Hirschl, 2008), yang menggambarkan bagaimana aktor-aktor politik terus menggunakan pengaruh mereka dalam berbagai proses kelembagaan untuk memperkuat posisi atau jaringan kekuasaan mereka. Selain itu, teori kepemimpinan transformatif (Burns, 1978) juga relevan, karena menunjukkan bahwa pemimpin yang kuat sering merasa bertanggung jawab untuk memastikan kesinambungan agenda mereka, bahkan setelah mereka meninggalkan jabatan.
Namun, langkah Jokowi ini juga memiliki risiko, baik bagi dirinya maupun bagi stabilitas demokrasi. Dukungan yang terlalu eksplisit terhadap kandidat tertentu dapat dianggap sebagai bentuk intervensi politik, yang berpotensi memengaruhi persepsi publik terhadap independensi proses demokrasi. Selain itu, sikap ini dapat menciptakan friksi dengan aktor politik lain yang merasa dirugikan oleh dukungan Jokowi terhadap calon tertentu.
Fenomena ini menunjukkan kompleksitas transisi kekuasaan dalam sistem demokrasi. Bagi seorang mantan presiden, menjaga keseimbangan antara peran sebagai negarawan senior yang netral dan pengaruh politik yang masih signifikan adalah tantangan besar. Dalam konteks Indonesia, kasus ini juga mencerminkan bagaimana figur kuat seperti Jokowi dapat terus menjadi aktor politik yang relevan, meskipun secara formal tidak lagi memegang jabatan.
Konsep Post-Power Syndrome
Post power syndrome merupakan fenomena psikologis yang terjadi ketika seseorang mengalami kesulitan beradaptasi dengan kehilangan posisi atau kekuasaan yang sebelumnya mereka miliki. Dalam konteks kepemimpinan negara, khususnya presiden, sindrom ini dapat termanifestasi melalui keterlibatan yang terus-menerus dalam politik atau urusan negara meskipun telah pensiun dari jabatannya. Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif, terhadap sistem politik, stabilitas pemerintahan, dan demokrasi.
Post power syndrome dapat didefinisikan sebagai gangguan psikologis yang dialami individu yang kehilangan posisi atau otoritasnya, yang kemudian merasa kehilangan makna hidup atau identitasnya (Levinson, 1978). Dalam buku Seasons of a Man's Life, Levinson menyebutkan bahwa peralihan peran sering kali menimbulkan krisis identitas, terutama bagi individu yang sebelumnya memiliki peran besar dalam struktur sosial.
Teori kebutuhan hierarki Abraham Maslow juga relevan dalam menjelaskan fenomena ini. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri menjadi sangat penting bagi individu yang telah mencapai puncak kariernya. Ketika kebutuhan ini tidak lagi terpenuhi setelah pensiun, individu tersebut cenderung mencari cara untuk tetap relevan dan mempertahankan pengaruhnya, misalnya dengan tetap terlibat dalam urusan politik atau pemerintahan.
Aktifnya Mantan Presiden
Dalam konteks presiden, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep role exit oleh Helen Rose Ebaugh (1988), yang menyoroti kesulitan individu dalam meninggalkan peran lama yang telah melekat pada identitas mereka. Presiden yang telah memimpin negara sering kali menghadapi dilema ini, mengingat peran mereka sebelumnya sangat sentral dalam pengambilan keputusan dan pembentukan kebijakan.
Sebagai contoh, Di Amerika Serikat, mantan presiden sering kali tetap terlibat dalam politik, meskipun dengan cara yang lebih halus. Misalnya, Barack Obama tetap aktif dalam mendukung kandidat Partai Demokrat, termasuk dalam pemilu presiden 2020. Kasus lainnya, Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, adalah pemimpin yang tetap terlibat dalam politik meskipun telah pensiun. Setelah pensiun pertama kali, Mahathir kembali ke panggung politik untuk memimpin koalisi oposisi dan bahkan menjabat kembali sebagai perdana menteri. Keterlibatannya menunjukkan bagaimana rasa tanggung jawab atau ambisi politik dapat mendorong seorang mantan pemimpin untuk terus aktif.
Di Indonesia, keterlibatan mantan presiden dalam politik sering kali menjadi sorotan. Misalnya, setelah tidak lagi menjabat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetap aktif dalam politik melalui Partai Demokrat, yang dipimpin oleh putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). SBY juga kerap memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, menunjukkan bagaimana mantan presiden dapat memanfaatkan jaringan politik mereka untuk tetap relevan. Kasus lainnya adalah Megawati Soekarnoputri, yang meskipun tidak lagi menjabat sebagai presiden, tetap menjadi tokoh penting dalam politik Indonesia melalui perannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Megawati memiliki pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan politik, termasuk dalam penentuan kandidat presiden dari partainya. Terakhir, dukungan Jokowi terhadap kandidat dalam Pilkada memunculkan perdebatan mengenai etika politik dan netralitas seorang mantan presiden. Sebagian pihak menilai langkah tersebut sebagai cara untuk menjaga pengaruh politiknya melalui koalisi yang telah ia bangun selama masa kepemimpinannya. Namun, bagi para pendukungnya, tindakan ini dianggap sebagai wujud tanggung jawab terhadap kelanjutan program-program yang telah dirintisnya.
Dampak positifnya, mantan presiden yang terlibat dalam politik dapat memberikan wawasan berharga berdasarkan pengalaman mereka untuk membantu memperkuat sistem demokrasi dan mendukung pemimpin baru. Di beberapa kasus, keterlibatan mantan presiden dapat membantu menjaga stabilitas politik, terutama di negara-negara dengan sistem demokrasi yang masih berkembang. Sebaliknya keterlibatan mantan presiden sering kali dianggap sebagai bentuk intervensi yang dapat merusak legitimasi pemimpin yang sedang menjabat. Hal ini dapat memicu ketegangan politik dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Selain itu, ketika mantan presiden terlibat untuk mendukung kepentingan keluarga atau kelompok tertentu, hal ini dapat menghambat regenerasi politik dan memperkuat praktik nepotisme.
Dalam konteks teori politik, keterlibatan mantan presiden dapat dianalisis melalui teori patronase politik. Gellner (1983) menyebutkan bahwa dalam sistem patron-klien, figur yang memiliki kekuasaan sering kali mempertahankan pengaruhnya melalui jaringan politik meskipun mereka tidak lagi menjabat secara formal. Hal ini relevan dengan fenomena mantan presiden yang tetap memiliki basis pendukung yang loyal. Selain itu, teori institusionalisme juga dapat digunakan untuk memahami bagaimana norma dan struktur politik memengaruhi perilaku mantan presiden. Dalam sistem politik yang tidak memiliki batasan yang jelas terhadap peran mantan presiden, mereka cenderung lebih aktif terlibat dalam urusan negara.
Penutup
Fenomena post power syndrome pada presiden yang masih terlibat dalam politik dan urusan negara meskipun telah pensiun merupakan dinamika yang kompleks. Dengan melihat dari analisis teori di psikologi, politik, dan institusionalisme, kita dapat memahami alasan di balik keterlibatan ini serta dampaknya terhadap sistem politik. Meskipun keterlibatan ini dapat membawa manfaat tertentu, penting bagi sistem demokrasi untuk memastikan bahwa peran mantan presiden tidak mengganggu otoritas pemimpin baru atau mengancam prinsip-prinsip independensi politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H