Mohon tunggu...
Syafril Efendi Hanafiah (SEH)
Syafril Efendi Hanafiah (SEH) Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia

Politik Nasional, Pemilu dan Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mantan Presiden dan Keterlibatan dalam Politik Pasca Pensiun

31 Desember 2024   10:39 Diperbarui: 31 Desember 2024   10:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam konteks presiden, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep role exit oleh Helen Rose Ebaugh (1988), yang menyoroti kesulitan individu dalam meninggalkan peran lama yang telah melekat pada identitas mereka. Presiden yang telah memimpin negara sering kali menghadapi dilema ini, mengingat peran mereka sebelumnya sangat sentral dalam pengambilan keputusan dan pembentukan kebijakan.

Sebagai contoh, Di Amerika Serikat, mantan presiden sering kali tetap terlibat dalam politik, meskipun dengan cara yang lebih halus. Misalnya, Barack Obama tetap aktif dalam mendukung kandidat Partai Demokrat, termasuk dalam pemilu presiden 2020. Kasus lainnya, Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, adalah pemimpin yang tetap terlibat dalam politik meskipun telah pensiun. Setelah pensiun pertama kali, Mahathir kembali ke panggung politik untuk memimpin koalisi oposisi dan bahkan menjabat kembali sebagai perdana menteri. Keterlibatannya menunjukkan bagaimana rasa tanggung jawab atau ambisi politik dapat mendorong seorang mantan pemimpin untuk terus aktif.

Di Indonesia, keterlibatan mantan presiden dalam politik sering kali menjadi sorotan. Misalnya, setelah tidak lagi menjabat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetap aktif dalam politik melalui Partai Demokrat, yang dipimpin oleh putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). SBY juga kerap memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, menunjukkan bagaimana mantan presiden dapat memanfaatkan jaringan politik mereka untuk tetap relevan. Kasus lainnya adalah Megawati Soekarnoputri, yang meskipun tidak lagi menjabat sebagai presiden, tetap menjadi tokoh penting dalam politik Indonesia melalui perannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Megawati memiliki pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan politik, termasuk dalam penentuan kandidat presiden dari partainya. Terakhir, dukungan Jokowi terhadap kandidat dalam Pilkada memunculkan perdebatan mengenai etika politik dan netralitas seorang mantan presiden. Sebagian pihak menilai langkah tersebut sebagai cara untuk menjaga pengaruh politiknya melalui koalisi yang telah ia bangun selama masa kepemimpinannya. Namun, bagi para pendukungnya, tindakan ini dianggap sebagai wujud tanggung jawab terhadap kelanjutan program-program yang telah dirintisnya.

Dampak positifnya, mantan presiden yang terlibat dalam politik dapat memberikan wawasan berharga berdasarkan pengalaman mereka untuk membantu memperkuat sistem demokrasi dan mendukung pemimpin baru. Di beberapa kasus, keterlibatan mantan presiden dapat membantu menjaga stabilitas politik, terutama di negara-negara dengan sistem demokrasi yang masih berkembang. Sebaliknya keterlibatan mantan presiden sering kali dianggap sebagai bentuk intervensi yang dapat merusak legitimasi pemimpin yang sedang menjabat. Hal ini dapat memicu ketegangan politik dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Selain itu, ketika mantan presiden terlibat untuk mendukung kepentingan keluarga atau kelompok tertentu, hal ini dapat menghambat regenerasi politik dan memperkuat praktik nepotisme.

Dalam konteks teori politik, keterlibatan mantan presiden dapat dianalisis melalui teori patronase politik. Gellner (1983) menyebutkan bahwa dalam sistem patron-klien, figur yang memiliki kekuasaan sering kali mempertahankan pengaruhnya melalui jaringan politik meskipun mereka tidak lagi menjabat secara formal. Hal ini relevan dengan fenomena mantan presiden yang tetap memiliki basis pendukung yang loyal. Selain itu, teori institusionalisme juga dapat digunakan untuk memahami bagaimana norma dan struktur politik memengaruhi perilaku mantan presiden. Dalam sistem politik yang tidak memiliki batasan yang jelas terhadap peran mantan presiden, mereka cenderung lebih aktif terlibat dalam urusan negara.

Penutup

Fenomena post power syndrome pada presiden yang masih terlibat dalam politik dan urusan negara meskipun telah pensiun merupakan dinamika yang kompleks. Dengan melihat dari analisis teori di psikologi, politik, dan institusionalisme, kita dapat memahami alasan di balik keterlibatan ini serta dampaknya terhadap sistem politik. Meskipun keterlibatan ini dapat membawa manfaat tertentu, penting bagi sistem demokrasi untuk memastikan bahwa peran mantan presiden tidak mengganggu otoritas pemimpin baru atau mengancam prinsip-prinsip independensi politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun