Mohon tunggu...
Syafril Efendi Hanafiah (SEH)
Syafril Efendi Hanafiah (SEH) Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia

Politik Nasional, Pemilu dan Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mantan Presiden dan Keterlibatan dalam Politik Pasca Pensiun

31 Desember 2024   10:39 Diperbarui: 31 Desember 2024   10:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) masih aktif memberikan pengaruh politiknya, terutama dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Dalam sebuah wawancara, Jokowi secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap 84 calon kepala daerah, termasuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Pernyataan ini memicu perdebatan di kalangan publik dan pengamat politik, karena dianggap sebagai bentuk campur tangan seorang mantan presiden dalam proses politik.

Fenomena ini dapat dilihat sebagai indikasi dari post-power syndrome, di mana seorang mantan pemimpin sulit melepaskan pengaruhnya dan tetap terlibat dalam dinamika kekuasaan. Jokowi, yang selama dua periode menjabat sebagai presiden, memiliki basis dukungan politik yang kuat, baik dari partai koalisinya maupun dari jaringan politik yang ia bangun selama memimpin. Dukungan ini memberikan peluang baginya untuk terus memainkan peran politik meski tidak lagi berada di pucuk kekuasaan.

Keterlibatan Jokowi dalam mendukung kandidat Pilkada juga menimbulkan pertanyaan tentang etika politik dan netralitas seorang mantan presiden. Beberapa pihak mengkritik langkah ini sebagai upaya mempertahankan pengaruh politiknya melalui koalisi yang ia bentuk selama menjabat. Di sisi lain, pendukung Jokowi menilai langkah ini sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan program yang telah ia jalankan.

Dari perspektif teori, perilaku ini dapat dikaitkan dengan konsep judicialization of politics (Hirschl, 2008), yang menggambarkan bagaimana aktor-aktor politik terus menggunakan pengaruh mereka dalam berbagai proses kelembagaan untuk memperkuat posisi atau jaringan kekuasaan mereka. Selain itu, teori kepemimpinan transformatif (Burns, 1978) juga relevan, karena menunjukkan bahwa pemimpin yang kuat sering merasa bertanggung jawab untuk memastikan kesinambungan agenda mereka, bahkan setelah mereka meninggalkan jabatan.

Namun, langkah Jokowi ini juga memiliki risiko, baik bagi dirinya maupun bagi stabilitas demokrasi. Dukungan yang terlalu eksplisit terhadap kandidat tertentu dapat dianggap sebagai bentuk intervensi politik, yang berpotensi memengaruhi persepsi publik terhadap independensi proses demokrasi. Selain itu, sikap ini dapat menciptakan friksi dengan aktor politik lain yang merasa dirugikan oleh dukungan Jokowi terhadap calon tertentu.

Fenomena ini menunjukkan kompleksitas transisi kekuasaan dalam sistem demokrasi. Bagi seorang mantan presiden, menjaga keseimbangan antara peran sebagai negarawan senior yang netral dan pengaruh politik yang masih signifikan adalah tantangan besar. Dalam konteks Indonesia, kasus ini juga mencerminkan bagaimana figur kuat seperti Jokowi dapat terus menjadi aktor politik yang relevan, meskipun secara formal tidak lagi memegang jabatan.

Konsep Post-Power Syndrome

Post power syndrome merupakan fenomena psikologis yang terjadi ketika seseorang mengalami kesulitan beradaptasi dengan kehilangan posisi atau kekuasaan yang sebelumnya mereka miliki. Dalam konteks kepemimpinan negara, khususnya presiden, sindrom ini dapat termanifestasi melalui keterlibatan yang terus-menerus dalam politik atau urusan negara meskipun telah pensiun dari jabatannya. Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif, terhadap sistem politik, stabilitas pemerintahan, dan demokrasi.

Post power syndrome dapat didefinisikan sebagai gangguan psikologis yang dialami individu yang kehilangan posisi atau otoritasnya, yang kemudian merasa kehilangan makna hidup atau identitasnya (Levinson, 1978). Dalam buku Seasons of a Man's Life, Levinson menyebutkan bahwa peralihan peran sering kali menimbulkan krisis identitas, terutama bagi individu yang sebelumnya memiliki peran besar dalam struktur sosial.

Teori kebutuhan hierarki Abraham Maslow juga relevan dalam menjelaskan fenomena ini. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri menjadi sangat penting bagi individu yang telah mencapai puncak kariernya. Ketika kebutuhan ini tidak lagi terpenuhi setelah pensiun, individu tersebut cenderung mencari cara untuk tetap relevan dan mempertahankan pengaruhnya, misalnya dengan tetap terlibat dalam urusan politik atau pemerintahan.

Aktifnya Mantan Presiden

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun