(foto: dok.rtc)
Judul : Pelangi Cinta Negeri: 70 tahun Indonesiaku
Penulis : 87 Kompasianer Sahabat Rumpies
Editor : Fitri Manalu, Dra. Siti Nur Hasanah dan Z’oel Z’anwar
Penerbit : Halaman Moeka Publishing
Terbitan : Pertama, November 2015
Halaman : viii + 112 hal
ISBN : 978-602-269-144-0
Mungkin, inilah tanah sejarah yang dijanjikan itu. Sebuah janji kemerdekaan yang wajib dilunasi. Indonesiaku, Indonesiamu, dan Indonesia Kita. Indonesia telah melewati masa 70 tahun yang amat melelahkan. Puluhan tahun masa pembangunan, dan belasan tahun masa reformasi. Namun, tak ada tanda-tanda bangsa ini sudah semakin sejuk, lembut dan santun.
Buku ini hadir sebagai sebuah kumpulan rasa khawatir, ragu, bangga, cinta, bahagia, bosan, kecewa, dan setumpuk perasaan lainnya. Perasaan-perasaan itu kemudian tertuang dalam pergulatan batin yang rumit untuk menjadi Indonesia seutuhnya.
Buku “Pelangi Cinta Negeri: 70 tahun Indonesiaku” yang ada ditangan saya ini sebuah manifestasi Indonesia Mencari Cinta. Warna-warni nasionalisme warga begitu kental sekali. Cover dan kemasan bukunya Merah Putih. Buku ini juga tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, sangat nikmat sekali bila dibaca dalam suasana santai dan rileks.
Buku setebal 123 halaman ini, merupakan kumpulan puisi Kompasianer Sahabat Rumpies pada event Merah Putih Rumpies The Club (RTC) yang diselenggarakan pada tanggal 15-17 Agustus 2015 lalu. Event ini diselenggarakan untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun ke-70 RI.
Kebanggaan dan dan kecintaan kepada Indonesia ini bersemayam dan telah menjelma menjadi sebuah mimpi baru. Mimpi itu kemudian tumbuh, merayap pelan-pelan dan kemudian mekar dalam bunga-bunga nasionalisme kekinian. Sangat rimbun dan sejuk sekali. Kita seperti daun-daun yang berbeda, dari pohon yang sama yakni Indonesia.
Mimpi baru Indonesia itu dihadirkan kembali oleh Wahyu Sapta dalam “Negeri Masyhur Indah Hijau Membentang” dan "Kepada Mimpi Havelaar" karya Heruno Murtopo. Atau, anda ingin mendengarkan kembali nyanyian usang tongkat kayu jadi pepohonan yang tak lagi merdu dalam “Bangkitlah Lah lagi Pahlawanku” karya Mas Wahyu.
Kini mulai tampak samar-samar apa yang bisa disebut sebagai merdeka dalam “Ingat Kami Jangan Buat Kami Menyesali” karya Sugiyanto Hadi Prayitno, “Negeri Ibu” Ang Tek Khun dan “Jiwa-Jiwa Pupus di Tanah Merdeka” karya Dewi Pagi.
Saya membaca di dalam puisi in, tampak bahwa ada yang jengkel merdeka, yang kecewa merdeka, yang lelah merdeka, dalam “Merdeka” karya Erenbeckmen, “Indonesia Tiada Pernah Merasa Letih” karya Edy Priyatna, "Lelaki Tujuh Puluh" karya Umi Azzuransantika dan “Langit Agustus ke-70” karya Pical Gadi.