Mohon tunggu...
Syafriansyah Viola
Syafriansyah Viola Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

suka baca fiksi dan sekali-sekali....menulis!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Subjektifkah Fiksi? Inilah Komentar Penikmat Fiksi

24 Juli 2015   23:23 Diperbarui: 25 Juli 2015   17:13 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Saya sempat membaca beberapa komentar para Kompasianers yang mencolek soal kolom fiksi. Saya juga menyayangkan adanya stigma miring atau lebih tepatnya selintingan rumor, seolah-olah bahwa fiksi di-anaktirikan. Sedih dan tersayat-sayat hati saya mendengarnya.

Baiklah. Disini, aktivitas penggiat fiksi, saya sebut dengan nama fiksianer. Kecondongan komentar teman-teman Kompasianers lain yang menanggapi para penggiat fiksi atau fiksianer sebagai inklusif, terjebak diksi yang dalam, dan berlapis-lapis. “Kenapa kok pake bahasa langit, bahasa yang sederhana aja, biar mudah dipahami?” begitu kira-kira bisik-bisik tetangga.

Saya sebagai penikmat fiksi dan puisi. Saya coba memberikan komentar ngawur.

Saya awali dari imajinasi. Disinilah letak keajaiban ruang imajinasi dalam fiksi. Saya ambil contoh, ruang imajinasi itu seperti ruang angkasa. Ruang hampa yang maha luas dan terbentang tak terbatas. Ruang tanpa gravitasi. Di ruang inilah para fiksianer adalah astronotnya. Mereka mencoba melukis keindahan alam dan segala tetek bengek kehidupannya. Bentang alam dan aktivitas manusia.

Fiksi adalah bentuk lukisan keindahan rasa. Para fiksianer, menuangkan rasa dalam kuas kata. Tiap goresan dan kemolekan kata, memendam gejolak rasa yang aduhai. Rasa itu ringan, seringan kapas. Para fisianer itu adalah para pemetik rindu dan membawanya pulang ke dalam diri. Menaburi dalam kamar hati yang penuh keindahan dan kebersahajaan. Kalo ada yang mengatakan bahwa itu subjektif, yah, begitulah apa adanya. Bukan ada apa-apanya.

Mengapa subjektif?

Yang menarik, fiksianer cenderung untuk menggambarkan pengalaman yang berpusat dan personal self. Diksi-diksinya bergerak menembus waktu, dan menerobos sekat ruang sosial yang rumit dan membosankan.

Para fiksianer juga dalam mengupas pengalaman pribadi, dimana diksi-diksi itu adalah pantulan yang terhubung dengan diri mereka sendiri. Mereka memandang ke dalam, dan mencari keindahan yang terbenam jauh di dalam. Waktu kadang terlalu kejam untuk membongkar keindahan itu.

Gejolak dan kegelisahan hati dihantam keras perubahan zaman dalam garis waktu yang sombong. Di sana fiksi hadir dan memberikan obat penawar yang sejuk dan menyejukkan. Seperti segelas air bening di padang gurun yang tandus.
Aroma rasa adalah gerbang masuk menuju keindahan dan kebermaknaan, seolah-olah menjadi ciri khas fiksi untuk hidup daan berdamai dengan dirinya sendiri. Para fiksianer tampaknya lebih asik bermain-main dengan pengalaman pribadinya. Sebuah pengalaman eksistensialis diri.

Fiksi sebagai jalan masuk ke dalam diri. Fiksianer mencoba menafsirkan pengalaman hidup dan mengintegralkan sesuatu dengan dirinya sendiri. Beberapa dari mereka ada yang tenggelam dan hanyut keenakan dalam interpretasi itu. Yang lain masih setengah sadar untuk menerangkan kehidupan sehari-hari dengan sederhana dan menyentuh.

Aktivitas manusia dan serangkaian peritiwa adalah bunga-bunga kehidupan. Beberapa sangat mengagumi bunga-bunga, yang lain mencari sari pati (nektar) bunga. Bagi fiksianer, keindahan itu ada di hati. Itulah yang mereka rasakan. Ini kedengarannya agak samar dan agak lebay.

Tapi, di sanalah mereka menarik sebuah pengalaman yang mengintegral ke dalam dirinya. Rasa ada di dalam diri dan diluar diri. Kehidupan dan aktivitas itu mengalir, dan fiksianer pun mengalir dengannya.

Keindahan pada hakikatnya, adalah samar, mistis dan rahasia. Keberwujudannya dapat dirasakan di dalam hati saja. Ini merupakan pengalaman dan pertemuan yang luar biasa. Ini bukan merupakan bentuk konfrontasi. Apalagi usaha membenturkan sesuatu yang di luar diri. Katakan saja, ini sebuah penegasan partisipasi subjektif fiksianer dalam kesatuan eksistensi.

Pikiran terlalu tumpul untuk menombak maknawi realitas.

Apalagi untuk memahami kebetulan yang menggejala dan tetek bengek kejadian sehari-hari. Bentuk ini hanya dapat diterjemahkan dan diraih oleh rasa. Tak perlu heran, puisi penuh dengan simbolisme dan kerahasian yang memacu angan-angan dan renungan.

Fiksianer sudah bosan dengan pantulan realitas. Mereka mencari ‘sesuatu yang lain’. Sebuah bayangan kerahasiaan dan kebajikan yang lebih tinggi. Kebajikan yang ditawarkan lebih kepada dapat dirasakan dari pada dinalarkan. Nalar objektif tidak memberi tempat bagi simbolisasi dan ruang rasa. Subjektifitas fiksianerlah yang dapat merangsang rasa ke arah kerahasian itu. Fiksi hadir membuka pandangan pengenalan diri pada suatu corak khas yang simbolis. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Mohon dikoreksi. 

Salam Hangat!

---

Illustrasi foto lihat di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun