Tapi, di sanalah mereka menarik sebuah pengalaman yang mengintegral ke dalam dirinya. Rasa ada di dalam diri dan diluar diri. Kehidupan dan aktivitas itu mengalir, dan fiksianer pun mengalir dengannya.
Keindahan pada hakikatnya, adalah samar, mistis dan rahasia. Keberwujudannya dapat dirasakan di dalam hati saja. Ini merupakan pengalaman dan pertemuan yang luar biasa. Ini bukan merupakan bentuk konfrontasi. Apalagi usaha membenturkan sesuatu yang di luar diri. Katakan saja, ini sebuah penegasan partisipasi subjektif fiksianer dalam kesatuan eksistensi.
Pikiran terlalu tumpul untuk menombak maknawi realitas.
Apalagi untuk memahami kebetulan yang menggejala dan tetek bengek kejadian sehari-hari. Bentuk ini hanya dapat diterjemahkan dan diraih oleh rasa. Tak perlu heran, puisi penuh dengan simbolisme dan kerahasian yang memacu angan-angan dan renungan.
Fiksianer sudah bosan dengan pantulan realitas. Mereka mencari ‘sesuatu yang lain’. Sebuah bayangan kerahasiaan dan kebajikan yang lebih tinggi. Kebajikan yang ditawarkan lebih kepada dapat dirasakan dari pada dinalarkan. Nalar objektif tidak memberi tempat bagi simbolisasi dan ruang rasa. Subjektifitas fiksianerlah yang dapat merangsang rasa ke arah kerahasian itu. Fiksi hadir membuka pandangan pengenalan diri pada suatu corak khas yang simbolis. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Mohon dikoreksi.Â
Salam Hangat!
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H