Illustrasi sedekah.
Azan magrib berkumandang. Ketika aku hendak menikmati hidangan buka puasa. Sayup-sayup terdengar bunyi pintu diketuk di depan rumah. Ketukan itu makin keras dan kasar saja. Karena penasaran, ku intip dari balik kaca jendela. Samar-samar terlihat, seorang pengemis tua bertubuh kurus, kotor dan berjanggut putih. Pakaiannya compang camping, coba melempar senyum padaku.
Ku buka pintu dan ku dekati.
“Ada apa kek?”
“Sedekahnya, nak! Kakek belum makan dari pagi”
Suaranya agak parau dan kasar. Aku kaget. Kakek itu malah tersenyum. Melihat dandanannya, aku tak percaya pada orang ini. ‘Orang tua aneh. Kok magrib-magrib minta sedekah. Tampangnya juga tak mirip pengemis’, rasa curiga timbul dalam hatiku.
Aku terdiam, sejenak. Terngiang ceramah pak ustadz malam kemarin. “Sedekah adalah keajaiban hati. Allah swt pasti membalasnya berlipat ganda dengan keajaiban pula!”
“Mana nak, mana sedekah untuk saya, kok malah diam!” Suaranya seperti memaksa. Pengemis itu menengadahkan tangannya di depan ku. Baru kali ini aku ketemu pengemis sebengal dan sekasar ini.
Ku celup saku celana. Uang yang keluar Rp 20.000, itu pun tinggal sehelai. Ku obrak-abrik lagi saku celana, berharap bisa ketemu uang receh koin. Pengemis itu memasang wajah memelas, berharap aku memberinya uang Rp 20.000 itu. Enak saja, ini uang buat makan besok!, bisikku dalam hati. Aku pergi ke kamar, mengambil uang dan kembali lagi, lalu memberikan uang koin Rp 500 bergambar burung garuda ke tangan pengemis tua itu.
“Kurang, nak!” tolak si pengemis.
“Sudah-sudah, itu sudah cukup!”
Kurang ajar! Sudah minta, maksa lagi, dongkol ku dalam hati.
Dengan berat hati pengemis tua itu pun melangkah pulang, cepat-cepat ku tutup pintu. Betul kata pak ustad, untuk ikhlas bersedekah memang tak mudah dan ujiannya berat. Aku memberinya sedekah seakan dengan hati terpaksa.
************
Malam ke-27 Ramadhan. Malam ini, seperti malam-malam kemarin, aku pergi tarawih ke masjid di dekat rumah, i’tikaf sebentar lalu pulang. Dalam perjalanan pulang, aku merasakan ‘keanehan’. Angin bertiup lembut, cuaca begitu tenang dan damai. Tak biasanya seperti ini. Tidak panas dan tidak pula dingin. Langit tampak benderang, tak berawan, juga tak ada tanda-tanda akan hujan.
Ketika tiba di pintu rumah, kurasakan batinku agak gelisah sesaat. Tubuhku mulai berpeluh tanpa sebab yang jelas. Aku jadi teringat wajah pengemis tua yang datang magrib tadi. Ku tepis perasaan itu, barangkali aku hanya sedang tak enak badan. Ku putuskan saja untuk tidur cepat malam ini.
Aku tertidur begitu lelap, dan di dalam tidur aku bermimpi.
Dalam mimpiku, aku seolah berada di tengah-tengah sebuah kota nan megah. Sebuah kota yang terbuat dari emas. Ku kucek-kucek mata, lalu ku cibit tangan ku. Aukh, sakit. Aku hanya ingin memastikan bahwa ini benar-benar nyata, bukan mimpi.
Aku melihat di kejauhan. Gedung tinggi dan rumah-rumah berkilau keemasan. Jalan-jalannya lebar dan mulus, bebas macet. Tak terdengar suara bising klakson atau supir yang mengamuk karena terjebak kemacetan. Hening.
Rumput terbentang indah bak karpet hijau di tepi jalan. Pohon-pohon rindang berbaris teratur di sepanjang jalan. Daun-daunnya berwarna hijau keperak-perakan. Burung-burung beterbangan dari ranting ke ranting pohon. Udaranya segar dan sejuk seperti di pegunungan. Tak ada debu, asap kendaraan atau polusi udara. Ada kursi taman di sisi pohon. Tiang-tiang lampu. Rambu-rambu lalu lintas. Semua benda-benda itu terbuat dari emas.
Ku coba telusuri jalan-jalan di kota itu. Kota ini sepi dan lengang. Tak lama berjalan tanpa arah, aku tiba di tepi sungai yang tenang. Airnya mengalir bersih seputih susu, berkilauan diterpa cahaya, sejuk dan menyejukkan. Matahari sangat besar sekali menggantung di langit, seperti hanya beberapa jengkal di atas kepala, tapi cahayanya lembut dan tak menyakiti kulit.
**********
Ini seperti negeri dongeng saja, batinku. Kini aku tiba di pertigaan jalan, ku jumpai orang-orang hilir-mudik. Mereka mengenakan jubah besar serupa kaum sufi, berwarna putih panjang. Tubuh mereka tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek. Kulit mereka berwarna putih kemerah-merahan seperti kulit bayi yang baru lahir. Mereka berlalu seolah tak memperhatikan keberadaan ku.
Kaum laki-laki dan perempuannya, semua berusia muda dengan rambut putih terang hingga sepunggung. Beberapa orang mengendarai kuda, ada juga yang berjalan kaki. Seingatku, mereka mirip sekali dengan kaum elf yang ada di film Lord of The Ring. Tubuh dan wajah mereka senantiasa bercahaya, dimana tak satu pun aku mengenali wajah mereka. Orang-orang ini seolah terlahir dari cahaya, pikir ku.
Ada keteduhan dan kesejukan yang entah datang dari mana, bila aku memandang wajah mereka.
Aku pun termenung beberapa saat. Tiba-tiba, seorang kakek tua berjanggut putih menepuk pundak ku, “Ada apa, Nak? Kau tersesat. Mari, ikutlah bersama ku!” Aku kaget dan tersadar. Kakek ini wajahnya mirip sekali dengan pengemis tua yang datang magrib tadi. Ku buang perasaanku, dan ku amati lekat-lekat wajah kakek tua ini.
Kakek tua itu pun melanjutkan perjalanan dan aku mengikuti langkah kakinya. Kami mengelilingi kota ini sambil menikmati keindahannya. Di dalam perjalanan, terjadilah percakapan di antara kami berdua.
“Aku berada dimana, wahai kakek tua?” tanya ku.
“Engkau berada di surga, anak ku!” ujar kakek.
Aku terkejut, tapi ku simpan dalam hati.
“Siapa orang-orang ini, kek?” aku bertanya lagi.
“Nak, warga yang tinggal di kota ini adalah orang-orang yang senantiasa suka bersedekah. Mereka membersihkan hartanya dengan menyisihkan sebagian untuk memberi makan kaum yang kelaparan. Mereka bersedakah, ada yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi.” terang si kakek tua itu.
“Kenapa penduduk kota ini sedikit sekali, kek?” Aku makin penasaran.
“Orang-orang malas bersedekah, Nak. Mereka takut, takut menyerahkan uangnya. Kalau-kalau uang yang mereka sedekahkan akan sia-sia. Maka, dari hari ke hari, orang-orang semakin sedikit saja yang mau bersedekah. Maka, kota ini menjadi sepi dan lenggang. ” jawab si kakek.
“Lalu, kek?”
“Mereka juga sudah pintar-pintar, dan tak mau tertipu bila memberikah sedekah kepada fakir miskin atau pengemis. Mereka seolah tak lagi mempercayai pahala dari Tuhannya. Kakek jadi sedih, nak!!” ujar kakek sambil mengusap pipinya.
“Lalu, buat siapa gedung dan rumah-rumah yang terbuat dari emas ini, kek?”
“Tuhan yang menyiapkannya. Semua ini adalah imbalan buat mereka sudah bersedekah. Bila mereka nanti pulang ke pangkuanNya. Mereka tak perlu repot-repot lagi mencari tempat berteduh di sini.”
Aku menarik nafas. Kakek tua itu berhenti melangkah dan berkata, “Buka telapak tanganmu?” Lalu ia memberi ‘sesuatu’ dan menutup kepal tanganku. Kemudian melangkah pergi dan menghilang di kejauhan.
Aku pun tersentak dan terbangun. Sekujur tubuhku bermandikan peluh seperti orang yang baru menempuh perjalanan jauh. Tanpa ku sadari, tanganku sedang menggenggam kuat ‘sesuatu’. Ku buka gengaman, aku terkejut, ternyata: uang koin Rp 500 bergambar burung garuda.
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di Group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H