“Saya harus mulai menulis dari mana nih?”
“Kejadia A, Peritiwa B, sosok C, atau Pengalaman kuliner kemarin?”
“Akh, topik ini sudah banyak ditulis orang lain?”
“Bagaimana kalau saya menarasikannya begini atau begitu, pasti menarik?”
Saya menilai pertanyaan-pertanyaan adalah cara ampuh untuk mengalahkan diri sendiri dalam mendobrak kebuntuan menulis. Todongan pertanyaan ini juga memaksa diri saya untuk membaca lebih banyak. Melahap lebih banyak informasi hingga kenyang. Agar saya bisa menentukan satu pilihan topik yang menarik untuk ditulis dan mulai menulis. Biasanya kalo sudah menemukan paragraf awal pembuka tulisan. Selebihnya ide mengalir deras bak arus sungai di musim hujan.
2/ Logika Sungai dan Tanggung Jawab Penulis
Awalnya, memang, saya coba memberi tugas dan berkomitmen agar menulis untuk diri kita sendiri. Tak peduli bagaimana respon pembaca. Seperti logika sungai, yang selalu mengalir tak putus-putus, jernih dan tenang. Menulis juga serupa itu.
Sesudah itu, saya mulai belajar, ada tanggung jawab seorang penulis terhadap pembacanya. Kepada siapa tulisan itu dialamatkan? Bagaimana reaksi pembaca tulisannya? Marah, bereaksi emosional, ada penolakan atau menyukai tulisan kita? Atau tak ada maksud sama sekali, sebatas menulis dan menulis saja?
Saya mulai menyadari, sebuah tulisan akan memiliki efek atau dampak tertentu. Pas sekali, dipojok bawah kolom Kompasiana memberi rambu-rambu begini, “Kompasiana adalah Media Warga, Setiap Konten Dibuat Oleh dan Menjadi Tanggung Jawab Penulisnya.”
Tulisan kita akan disaring sesuai dengan keyakinan, prasangka dan nilai para pembaca. Bisa bernilai positif sebagai pelecut semangat menulis. Atau bahkan bisa juga dirasakan menyakitkan atau dirasa negatif. Itu semua adalah asam-garam dalam menulis. Selamat Menulis.
Salam Hangat!