Mohon tunggu...
Syafriansyah Viola
Syafriansyah Viola Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

suka baca fiksi dan sekali-sekali....menulis!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ayahku Seorang Pengacara: Jejak Darah (3)

2 Juli 2015   13:56 Diperbarui: 2 Juli 2015   13:56 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Palu dan timbangan. (sumber: www.tempo.co)

Cerita sebelumnya: Sidang ke-2 mendengarkan keterangan saksi yang meringankan terdakwa. Saksi adalah kakak kandung terdakwa. Ayah menjelaskan filosofi timbangan. Aku tak sepenuhnya mengerti. Tetap saja, ¾ bagian dari diriku sangat marah dan mengutuk pembunuh bocah itu.

Klik dan baca cerpen ke-1 disini.

Klik dan baca cerpen ke-2 di sini.

*****

Kasus ini, tentu saja, sudah membuat hubungan ku dengan ayah kian merenggang. Aku selalu menganggap ayah adalah pahlawan keluarga. Nakhoda kapal keluarga yang baik. Aku bangga punya ayah seperti dia. Dan kota ini juga bangga punya pengacara hebat seperti dia.

Emosiku mulai bergerak dan membakar tiang-tiang kesabaran. Aku bisa saja membohongi diriku dengan mengatakan bahwa kasus pembunuhan ini hanya kasus pembunuhan biasa. Tapi. sesuatu di dalam diriku menolaknya. Semakin aku mencoba menerima penjelasan ayah, semakin besar kemarahanku untuk mengutuk pembunuh bocah itu.

“Ingatlah akan filosofi timbangan, nak. Segala sesuatu akan mencari titik keseimbangan dan jalannya masing-masing. Termasuk, emosi marah mu saat ini!”

Sidang ke-3 mendengar keterangan saksi ahli dari penyidik kepolisian dan tim Laboratorium dan forensik. Hakim masuk dan membuka sidang ini dengan mengetuk palu sebanyak 3 kali. Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan berita acara perkara (BAP) kasus pembunuhan bocah SD ini.

“Sesuai dengan keterangan dalam berita acara perkara (BAP) yang diajukan pihak kepolisian kepada kami maka akan saya akan membacakan sebagaimana yang dijelaskan dalam BAP tersebut sebagai berikut.”

Pengunjung dan peserta sidang hening. Mereka khusuk mendengarkan Jaksa.
“Demikianlah, keterangan yang ada di dalam BAP ini, Yang Mulia. Terimakasih.”

Hakim menanyakan kepada Jaksa, apakah akan menghadirkan saksi lain dalam sidang kali ini.
“Iya, Yang Mulia. Saya mengajukan 2 orang saksi ahli dalam sidang ini.”
Jaksa meminta pihak keamanan menghadirkan saksi ahli dari penyidik kepolisian ke muka sidang. Saksi ahli masuk, lalu duduk di kursi saksi di depan hakim.

Hakim bertanya, “saudara saksi, apa pekerjaaan saudara?”
“saya adalah penyidik dari kepolisian, Yang Mulia.”
Hakim tidak bertanya lagi dan memberikan kesempatan kepada Jaksa untuk bertanya kepada saksi ahli dari penyidik.

“Terimakasih, Yang Mulia. Saudara saksi, apa temuan saudara dalam kasus pembunuhan ini?
“Kami menemukan bercak darah di sejumlah lokasi di tempat kejadian perkara (TKP), pak Jaksa”
“Dimana saja di temukan bercak darah itu?”
“Jejak darah itu kami temukan di kamar saksi I, di botol, jejak darah juga ditemukan di kamar terdakwa dan jalan menuju tempat dikuburkannya korban.”
“Selain jejak darah, bukti apalagi yang saudara temukan di tempat kejadian perkara?”
“Berdasarkan hasil penyidikan, kami juga menemukan bukti lain, pak Jaksa. Temuan ini berupa jejak kaki, tangan serta sidik jari.”

Jaksa merasa cukup bertanya. Hakim memberi kesempatan kepada pengacara terdakwa bertanya. Pengacara terdakwa maju dan bertanya kepada saksi ahli I dari penyidik kepolisian.
“Saudara saksi, apakah darah yang ditemukan sudah mengering atau masih basah?”
“Bercak darah yang ditemukan sudah mengering, pak Pengacara.”

“Saudara saksi, saya juga mengikuti perkembangan kasus ini di media. Pada penyelidikan awal, jejak darah hanya ditemukan di kamar saksi I (utama) dan di tempat korban dikuburkan. Lalu ketika kasus ini di ketahui publik, publik mengutuk keras. Anehnya, kemudian jejak darah baru ditemukan di kamar terdakwa. “Apakah saudara bekerja di bawah tekanan publik dan media?”
“Saya tak berwenang menjawab ini, pak Pengacara. Ini sudah sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) kami sebagai penyidik di kepolisian.”

“Baiklah. Saudara saksi, saudara mengatakan bahwa jejak darah ditemukan di kamar saksi I (saksi utama), di botol dan di kamar terdakwa. Bisa saja pembunuhan itu terjadi di kamar saksi I. Lalu darahnya jatuh dan berceceran di banyak tempat. Atau ketika terdakwa memanggil saksi I untuk membersihkan kamarnya dan bercak darah menempel disana. Bukankah, saksi I pernah mengakui bahwa beliau adalah pembunuh korban pada keterangan awal penyidikan. Apakah itu ada kemungkinannya?”
“Saya tidak berwenang menjawab itu, pak Pengacara. Saya kira semua sudah tertulis lengkap di BAP.”

Pengacara terdakwa selesai bertanya. Saksi ahli I dari penyidik kepolisian keluar dari ruang persidangan ini.
Saksi ahli II dari tim laboratorium dan forensik dihadirkan ke depan sidang. Ia masuk dan duduk dikursi saksi. Jaksa IV maju dan bertanya.

“Saudara saksi, apakah bercak darah yang ditemukan itu adalah darah untuk satu orang yang sama?”
“Benar, pak Jaksa. Bercak darah itu kami kirim ke laboratorium dan forensik Markas Besar kepolisian di Jakarta untuk di uji lebih lanjut. Dari beberapa jejak darah itu, kami mencocokkan data secara ilmiah. Yakni data antemortem dari keluarga korban dan postmortem di tempat kejadian perkara. Hasil uji labfor itu menyatakan bahwa itu adalah darah yang sama untuk satu orang. Darah seorang perempuan.”

Jaksa menyerahkan hasil uji labfor darah kepada hakim. Jaksa merasa cukup bertanya kepada saksi ahli dan berkata, “Cukup sekian pertanyaan dari saya, Yang Mulia.”
Hakim memberikan kesempatan kepada pengacara terdakwa untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi ahli.
“Terimakasih, Yang Mulia. Saudara saksi, apakah tidak ada kemungkinan bahwa itu adalah darah hewan. Kucing, barangkali?”
“Berdasarkan hasil uji laboratorium dan forensik. Saya bisa pastikan bahwa itu adalah darah manusia, pak Pengacara.”

“Apakah uji labfor itu sudah dilakukan pemeriksaan silang dengan keterangan saksi dan terdakwa?”
“Soal itu saya tidak tau, pak Pengacara.” Saksi menelan ludah dengan susah payah.

Jaksa IV menyela “Keberatan, Yang Mulia!”
Hakim menjawab. “Keberatan di terima!”
Hakim menatap tajam ke arah pengacara, seolah-olah ingin menantangnya berbicara. Pengacara terdakwa menyudahi pertanyaannya.

Sidang kemudian berjalan monoton dan menjemukan. Waktu merangkak dan berjalan lambat.

****

Aku pulang ke rumah. Rumah ini berbeda, reyot dan sakit. Aku menatapnya dari sisi jalan ketika aku melewatinya. Aku pernah bangun tengah malam dan memandang keluar jendela. Para tetangga kanan-kiri mulai berbisik-bisik menyalahkan ayahku. Aku berubah, tak lagi ramah dan menutup diri dari siapa pun.
Di dalam rumah itu, tinggal sesosok hantu jahat.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun