Syafriansah Viola/No. 22
__
Kawan, aku akan mengisahkan pada mu tentang seorang perempuan yang baru kutemui kemarin. Dia agak gemuk. Sisa-sisa kecantikan masa lalu masih terlihat di kerut wajahnya. Aku ada menyimpan fotonya selembar. Itu pun sudah kusam dan lecek. Eits, nanti dulu, aku tak akan pernah menunjukan foto itu pada mu, kawan.
Aku sudah lama sekali tak melihat dia. Terakhir, aku melihat dia lewat ketika sedang nongkrong di kedai kopi Mak Juleha. Rambutnya sebahu, dipotong mirip Anjelina Jolie. Dia memakai baju panjang dari bahan katun halus.
Kedua bibirnya mengatup, hidung kecilnya bagaikan buah cherry yang hampir masak. Tulang pipinya sedikit agak sedikit menonjol dan berbekas jerawat agak samar-samar. Aku tak suka dengan poninya, agak berantakan. Sepertinya rambut itu dia potong sendiri.
Dia kelihatan agak tua. Aku tak tau persis lagi umurnya. Kutebak, mungkin lima puluhan ada...
"Eeh...Karmila kan?"
Karmila memandang keheranan.
Ia menutup mukanya dengan selendang dan tersenyum.
"Ya...betul...saya Karmaila..."
"Karmila....! ini aku karim. Temen waktu SD dulu. Masih ingat kan?"
Karmila tersenyum. Ia tersenyum dengan matanya. Senyuman itu telah mengikis habis semua beban penderitaan yang telah menghisap kering pori-pori kulitnya dan bisa menembus bagian paling rapuh hati orang yang melihatnya. Ia menoleh, kami pun membuka obrolan.
"Udah berapa anakmu, Mila?"
"Aku punya anak dua...dua-duuanya perempuan!"
"Dua?"
"Iya. Kedua anak perempuan ku itu sekarang kerja di luar negeri. Di Malaysia. Jadi TKW."
Aku menganguk. Sudah cukup lama juga kami tak bertemu sejak sama-sama berangkat dari kampung dulu.
"Jadii....anak-anak perempuanmu kau berikan pada cukong-cukong busuk itu?"
Karmila mengangguk.
Lalu diam.
*******
Dia pun berkata dengan serius, "Hutang suamiku menumpuk. Aku disuruh menandatangani surat dan aku juga di janjikan sebuah rumah. Barangkali itu keputusan terbaik buat anak-anakku....andai mereka tinggal dengan ku, toh, mereka cuma jadi anak kampung biasa!"
"Kau tega menjual anak-anakmu, Mila?"
"Akuu...aku?" Karmila bingung menjawabnya. Kemudian, setengah dengan senyum, dan setengah lagi dengan mengangkat pundak, ia menjawab. "Aku terpaksa....melakukan itu. Suamiku lari entah ke mana dan hutangnya menumpuk. Orang tua ku sudah meninggal. Aku harus bertahan hidup....dan aku tidak muda lagi. Aku rasa, Tuhan memang sudah menentukan begitu...!"
Aku diam sejenak.
"Sudahlah...usah dipikirkan. Itu semua takdir hidupku. Sekarang kita sudah tua. Kalau kau ke pasar, mampir ke rumah ku ya....muungkin kita bisa ngobrol lebih banyak lagi. Sekarang aku buru-buru..."tutup Karmila. Mukanya tak menunjukan perasaan apa-apa.
Karmila bersegera menuju ke kedai. Membeli belajaan untuk hari ini.
Aku pun diam dan tak pernah bisa mengerti. Ya sudahlah, ku pikir alur kehidupan akan mencari jalannya sendiri. Kawan, cerita ini kusudahi sampai disini ya.
Salam fiksi.
__
Kuala Tungkal, 20/04/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H