PALEMBANG - Â Gagal panen yang dikeluhkan petani disepanjang arigasi peninggalan Belanda, sejak 6 tahun lalu, sepertinya masih akan terus berlangsung.Â
Pemerintah nampaknya diam membisu, belum ada upaya untuk menghilangkan penderitaan rakyatnya.
Banjir tahunan yang menenggelamkan dataran rendah diwilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, akibat meluapnya sungai Ogan, bagi penduduk setempat sudah biasa, karena banjir itu belangsung sejak nenek moyang mereka.
Dampak banjirpun terhadap perekonomian penduduk boleh dikatakan tidak ada. Hanya penyadap karet yang terganggu, terpaksa menghentikan penyadapan, karena kebun karetnya terendam air.
Sementara terhadap petani tanaman pangan, banjir yang menenggelamkan areal sawahnya dijadikan patokan, untuk bersiap menghadapi musim tanam, kata kata Tawi (64) dan Matdadi (56) petani dikawasan Irigasi yang dibangun Belanda tahun 1940-an, Sabtu, 27 Mei 2023.
Biasanya banjir tahunan akibat meluapnya sungai Ogan itu tidak berlangsung lama, sekitar 10-15 hari.
Kalau banjir tiba, petani penyadap ketah bisa istirahat selama 10-15 hari. Sementara petani tanaman pangan (sebut padi), musim banjir itu mereka jadikan patokan untuk bersiap menghadapi musim tanam.
Mereka mulai melakukan penyemaian (membibitkan) padi pada lahan yang tidak tergenang air. Setelah air mulai surut, mereka membersihkan sawahnya dari rerumputan, selanjutnya memindahkan anakan padi yang disemai untuk ditanam.Â
Dulu sebelum sungai buatan dibangun, hasil panen dari rata-rata 1,5 ha lahan yang mereka miliki, cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan menyekolahkan anak hingga panen tahun berikutnya, kata Tawi.
Namun setelah sungai buatan selesai dibangun tahun 2018, hasil panen sudah tidak seperti dulu, sulit untuk mencukupi kebutuhan keluarga, malah pernah gagal panen.