Syaf Anton Wr
Perlu kita sadari bahwa bangsa kita sekarang ini tengah mengalami disorientasi budaya, kehilangan arah dan hampir saja kehilangan jadi diri. Hal ini tentu sangat merisaukan bagi kita, khususnya bagi generasi muda, para remaja, lebih-lebih para pelajar di sekolah-sekolah. Bahkan ada sejumlah pihak mengatakan, bahwa bangsa kita sekarang ini mengalami dismotivasi budaya, yang selanjutnya bisa memungkinkan kehilangan motivasi luhur dalam menjalankan langkah-langkahnya kedepan.
Bahkan banyak pihak menyebut bahwa saat ini Indonesia sedang dalam masa dependensy budaya, kekuatan bangsa luar demikian kuatnya menekan dari segala arah, Â dan akibatnya bangsa ini mengalami apa yang disebut sebagai ketergantungan budaya. Tergantung pada budaya global yang berada di bawah rezim kendali budaya Amerika, Eropa, Jepang, Cina, India dan Korea.
Itulah kondisi obyektif bangsa Indonesia saat ini, jika ditilik dari sudut kebudayaan, apakah bangsa Indonesia sama sekali tidak memiliki potensi, sehingga begitu mudah kita mengalami disorientasi, dismotivasi, disfungsi dan dependensi budaya?, pada hal kita tahu secara hostoris bangsa ini memiliki potensi besar yaitu berupa nilai-nilai luhur yang mampu beradaptasi segala jaman.
Tentu persoalan ini tidak bisa kita biarkan, karena bangsa dan negara tidaklah mungkin berjalan mundur, tidaklah mungkin dibiarkan begitu saja terlantar, sebab realitas yang terjadi bukan lagi berdasarkan dari data-data karena banyak hal yang harus diperhatian lebih dalam lagi, banyak hal yang harus diurus dan dikembangkan, khususnya bagi penerus bangsa.
Sebuah ironi kerap kita hadapi dan kita perhatikan bahwa apa yang terjadi pada generasi kita tampaknya telah terjadi ketimpangan pilihan, kesimpang siuran arah dan bahkan menjelma keinginan-keinginan yang salah. Tuduhan-tuduhan pada generasi akhir ini disebut-sebut sebagai generasi rawan kriminalitas, generasi yang tak mau diatur, generasi teknologi yang ditentukan oleh aplikasi-aplikasi dunia maya, generasi yang tidak kompromis terhadap nilai-nilai ajaran lama. Dan kenyataannya persoalan demi persoalan muncul dengan berbagai akibatnya.
Apakah kita pernah bertanya, mengapa harus mereka perbuat, apa alasan mereka melakukan tindakan macam itu. Saya terenyuh ketika melihat terjadinya penangkapan-penangkapan kalangan remaja di jalanan, kemudian ditekan dengan pasal-pasal hukum, lalu dieksploitasi media massa secara terbuka.Â
Kita hanya diam, mencibir, mencela dan bahkan menekan mereka agar dihukum berat. Sekali lagi saya tanyakan, mengapa mereka lakukan. Dalam anggapan saya, karena mereka tidak diberi ruang, tidak diberi peluang untuk menunjukkan kreatifitasnya. Garis hubungan mereka dengan dunia kreatifitas seolah-olah ditutup. Akhirnya mereka menjadi liar tanpa arah.
Hal ini dapat saya tunjukkan, dan saya buktikan, sekaligus saya pertanyakan sejauh mana gerakan dari generasi sebelumnya memberi kesan, memberi harapan bahwa mereka merupakan potensi besar dengan ribuan karya dan kreatifitasnya. Saya pertanyakan juga, sejauh mana gerakan masyarakat, kelompok adat, para tokoh dan bahkan pemerintah, khususnya yang membidangi pengembangan potensi generasi ini memberi jalan mulus bahwa kemampuan mereka melebihi dari generasi sebelumnya.Â
Bagaimana mungkin kalangan muda yang dianggap "liar" itu mampu menciptakan suasana marwah yang indah bila tanpa dibarengi oleh tangan-tangan halus dan bijak disamping kanan kirinya.
Sementara disisi lain, ketika mereka harus menempa ilmu di sekolah, lahan yang seharusnya merepresentasikan kearifan-kearifan sudah dimonopoli oleh tekanan-tekanan keilmuan pragmatis yang konon sebagai ilmu yang mampu membuka ruang luas dalam tatanan kehidupan masa depan. Ilmu yang menjanjikan bahwa para anak didik tidak akan kelaparan dan akan mengalami kemapanan pada kehidupan selanjutnya.
Sebuah Pengalaman
Saya ingin sedikit memaparkan pengalaman pribadi saya  sekitar realitas yang kemudian saya sebut sebagai gerakan "penjaja sastra" atau tepatnya bila disebut sekarang ini penekanannya pada gerakan pengembangan dunia lierasi. Hal ini telah yang saya munculkan mulai sejak awal tahun 80-an. Gerakan ini cukup masif dan berlanjut. Meski disebut "sastra" kenyataan dilapangan tidak hanya penekanan pada dunia kesastraan, namun kekuatan yang menonjol justru pada gerakan budaya. Karena saya lahir dan berkembang di lingkungan budaya Madura, tentu saya lebih dekat dengan dunia yang berhubungan dengan budaya, yakni kearifan lokal Madura.
Gerakan ini saya lakukan dan diawali mulai masuk ke wilayah pesantrean secara berkala, setiap pekan saya datangi para santri melalui komunitas santri yang ada. Mengapa pesantren?, ketika itu saya mempunyai alasan kuat, bahwa pada jaman itu posisi pesantren, (termasuk madrasah didalamnya) diletakkan pada posisi kedua setelah sekolah umum.Â
Dan saya yakini, kehidupan mereka untuk mengenal dunia luar, relatif cukup kecil, sehingga mudah menerima keinginan-keinginan saya untuk mengembangkan kreatifitas mereka.
Dan itu benar. Gerakan ini berhasil, yang kemudian pada dekade awal 2000-an bermunculan kreator-kreator yang mumpuni dalam bidangnya. Justru yang dominan mereka lebih akrab masuk wilayah dunia sastra. Memang dunia sastra lebih mudah diterima dibanding dunia kesenian yang lain. Dunia sastra terbukti mampu memberi dan membangun pencerahan demikian dramatisnya sehingga keinginan-keingninan besar itu sangat relevan dengan pola hidup mereka.Â
Dunia sastra sangat berpengaruh dan relevan dengan dunia keilmuan lainnya. Maka tak heran dari komunitas pesantren kini telah tampak banyak lahir para pemikir dan penulis handal.
Hal inilah yang saya maksud, bahwa generasi muda, kalangan remaja maupun anak didik sekolah perlu dan harus diperkenalkan dunia sastra sejak awal, sejak dini, karena sastra adalah pelajaran yang sangat menyenangkan. Bagaimana tidak? Karena dalam belajar sastra ada banyak hal yang dapat diperoleh. Selain menyenangkan dan bermanfaat sekaligus memupuk serta mendalami nilai-nilai kehidupan.
Sehingga sangatlah salah atau minimal tidak tepat jika mengajarkan sastra hanyalah mengajarkan materi-materi sastra dengan menjejali otak siswa dengan berbagai ragam teori. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa teori sastra memang sangat membantu membedah sebuah karya sastra hingga ditemukan nilai-nilai moral yang dapat ditangkap kemudian diaplikasikan dalam kehidupan.
Â
Bergaul dengan Sastra
Tentu yang hadir saat ini telah memahami apa fungsi sastra. Dalam perkembangannya fungsi sastra, selain  dijadikan bahan dalam pembelajaran, baik terhadap anak-anak remaja, maupun bagi orang tua. Sebagaimana sifat sastra yakni menyenangkan dan bermanfaat. Kesenangan yang tentunya berbeda dengan kesenangan yang disuguhkan oleh karya seni lainnya.
Karya sastra  yang berisikan pemikiran, ide-ide kreatif, kisahan dan amanat penuturnya dapat berintraksi dengan masyarakat, apabila masyarakat mampu mengapreasikannya. Seseorang dapat mengapresiasikan karya sastra, tentunya harus menggauli sastra itu sendiri. Kecintaan terhadap karya sastra, akan mendorong seseorang untuk melahirkan berbagai pemikiran untuk mengapresiasikannya.Â
Seni sastra adalah seni bahasa, sebab untuk mengerti seni sastra orang harus mengerti bahasa dan kemungkinan-kemungkinan tentang pernyataannya. Dengan mengapresiasi karya sastra peminat akan mendapatkan amanat atau pesan moral yang terdapat dalam teks bacaan sastra itu sendiri.
Itulah mengapa gerakan sastra menjadi penting, memang sastra tidak boleh didiamkan, sastra harus bicara, sastra bukan benda mati yang hanya dipajang di etalase atau rak-rak buku. Kalau boleh saya analogikan karya sastra bagaikan seorang wanita cantik secara fisik dan menarik untuk diterjemahkan, namun kecantikan tersebut pada akhirnya terhenti oleh waktu. Akibatnya, pandangan akan mengalihkan perhatian kita ke wanita yang lain walaupun masih menyimpan kenangan tentang dirinya.
Begitu juga dengan karya sastra, keindahannya bukan hanya dari struktur katanya tapi makna yang terkandung didalamnya. Tapi semuanya akan lapuk oleh waktu dengan hadirnya karya sastra yang lebih progresif dengan penampilan dan style baru, genre baru, pola baru yang lebih mempesona para pembacanya. Sebagai teks, karya sastra tidak akan berarti apa-apa bila dipandang sebagai sesuatu yang sakral, tanpa dilakukan sebuah interpretasi terhadapnya. Â Akibatnya, sastra tidak akan menggumam dan tidak memberikan pencerahan pada publik penikmatnya. Â Akhirnya sastra akan dipandang sebelah mata,
Sastra perlu digerakkan, disampaikan; agar nilai sakralnya dapat diterjemahkan secara utuh oleh pembaca, penikmat, dan publik; Â karya sastra tidak hanya bergerak di bidang bahasa, dengan ungkapan yang indah dan imajinasi yang tinggi, namun juga harus melihat realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Â Belajar dari generasi sastra sebelumnya, sastra bukan sekedar teks, namun telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sebagaimana gerakan budaya lokal pada masa lalu, yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan bijak, disampaikan dengan cara elegan, dekat dan sederhana.
Belajar dari Kearifan Lokal
Bangsa kita sebenarnya juga memiliki potensi cita-cita, berupa cita-cita sosial dan cita-cita individual. Cita-cita bangsa Indonesia sekarang tersimpan dalam sastra tutur berupa ungkapan-ungkapan luhur yang jumlahnya ribuan, yang tersimpan dalam sastra tulis maupun sastra lisan.
Dalam kesempatan ini saya mencoba merefleksi kembali sastra yang tumbuh dari ungkapan-ungkapan lama, yang mungkin juga telah terlupakan, seperti ungkapan kearifan lokal "andhap asor" yang punya makna kita harus rendah hati, bukan rendah diri. Ungkapan ini bisa menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk didalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya. "Andhap asor" dalam pemahaman budaya Madura berimplementasi pada "raddhin atna, baghus tengka ghulina" (cantik hatinya, baik tingkah lakunya).
Demikian pula dalam pergaulan sehari-hari, salah satu kunci untuk menciptakan nilai-nilai kebersamaan seperti dicontohkan dalam saloka; Â "bil cempa palotan, bil kanca tartan," (kalau beras cempa adalah ketan, kalau teman adalah saudara), demikian pula untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga "mon b'na etobi' sak' jh' nobi'n orng" (apabila kamu dicubit sakit, jangan mencubit orang).
Tentang keseimbangan hidup misal, bahwa kebenaran hidup harus dimulai dari diri sendiri. "Jga paghrr dhibi' jh' parlo ajhg paghrr orng", (jaga pagar sendiri, tidak perlu menjaga pagar orang lain) karena itu hidup harus hati-hati agar tidak menyakiti orang lain, sebab "jhil reya ta' atolang" (lidah ini tak bertulang). Kalau kita kaji sebenarnya kehidupan ini seperti  "odi' dhunnya akantha nt obu'" (hidup di dunia ini seperti meniti rambut), sedikit saja salah melangkah kita tergelincir dalam kenistaan.
Demikian pula tentang tatakrama atau budi pekerti disebut "orng andhi' tatakrama rya akantha pss singgapun, kabelenjh'a dhimma bhai paju," (orang yang mempunyai tatakrama seperti uang Singapura/dollar, dibelanjakan dimanapun akan laku). Â Ungkapan ini tentu sangat relevan disinergikan pada kondisi jaman sekarang ini, dengan makin menguatnya budaya luar yang menyusup ketengah-tengah kita melalui perangkat "budaya dollar" tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kita, bagaimana kita bisa bertahan dan mampu menanamkan budi pekerti yang kini jelas-jelas telah tercerabut dari akarnya.
Persoalannya adalah bagaimana kita mengimplementasikan kearifan lokal tersebut pada generasi sekarang. Tampaknya perlu dibangun kembali dengan merevitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Hal ini memungkinkan kearifan lokal daerah akan mampu mengantarkan  generasi muda untuk mencintai daerahnya, dan mengenal sastra daerahnya sendiri.Â
Kecintaan pada daerah akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.
Akhiran
Barangkali itulah ajar-ajaran kearifan lokal yang patut direnungkan kembali, diapresiasi dan ditularkan pada generasi. Kita tahu para pendahulu kita ketika menyampaikan atau menularkan kepada generasinya dengan cara alami, dengan tutur kata yang lembut, dengan bahasa lisan yang indah, dengan cara sederhana dan ikhlas. Dan pesan-pesan moral itu sampai pada tujuan.Â
Namun tampaknya pesan-pesan itu kini akhirnya terputus, karena alasan klasik "kehendak jaman". Dan keterputusan itu, sekarang kita rasakan, saat ini, dan mungkin selanjutnya. Anggapan kearifan lokal tidak layak jaman, bisa jadi akan menghilang karena tidak sesuai kebutuhan jaman yang terus berkembang. Dan sekarang saatnya kita masing-masing, mulai dari diri sendiri, lingkungan kecil sampai yang terbesar untuk menentukan baik buruknya bangsa ini.
Demikian orasi budaya yang dapat saya sampaikan. Dan kalaupun tidak ada yang benar dari ungkapan-ungkapan saya ini, itu lantaran ketidaktahuan saya semata-mata, kalaupun ungkapan-ungkapan dianggap benar, itupun karena faktor keberanian saja, karena pada dasarnya saya sangat takut, takut untuk menjadi salah.
Terima kasih.
Sumenep, 12 Oktober 2016
Syaf Anton Wr
Tulisan ini adalah  naskah orasi budaya yang disampaikan pada acara Penghargaan sastra Balai Bahasa Jawa Timur, Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H