Mohon tunggu...
Syaf Anton Wr
Syaf Anton Wr Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat Kecil

Sekedar sapa untuk pembaca Kunjungi: www.lontarmadura.com www.rumahliterasisumenep.org www.maduraaktual.blogspot.com www.liliksoebari.blogspot.com www.babadmaduraline.blogspot.com www.lontarmadura.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Gerakan Sastra

30 Maret 2018   23:08 Diperbarui: 30 Maret 2018   23:18 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya sastra  yang berisikan pemikiran, ide-ide kreatif, kisahan dan amanat penuturnya dapat berintraksi dengan masyarakat, apabila masyarakat mampu mengapreasikannya. Seseorang dapat mengapresiasikan karya sastra, tentunya harus menggauli sastra itu sendiri. Kecintaan terhadap karya sastra, akan mendorong seseorang untuk melahirkan berbagai pemikiran untuk mengapresiasikannya. 

Seni sastra adalah seni bahasa, sebab untuk mengerti seni sastra orang harus mengerti bahasa dan kemungkinan-kemungkinan tentang pernyataannya. Dengan mengapresiasi karya sastra peminat akan mendapatkan amanat atau pesan moral yang terdapat dalam teks bacaan sastra itu sendiri.

Itulah mengapa gerakan sastra menjadi penting, memang sastra tidak boleh didiamkan, sastra harus bicara, sastra bukan benda mati yang hanya dipajang di etalase atau rak-rak buku. Kalau boleh saya analogikan karya sastra bagaikan seorang wanita cantik secara fisik dan menarik untuk diterjemahkan, namun kecantikan tersebut pada akhirnya terhenti oleh waktu. Akibatnya, pandangan akan mengalihkan perhatian kita ke wanita yang lain walaupun masih menyimpan kenangan tentang dirinya.

Begitu juga dengan karya sastra, keindahannya bukan hanya dari struktur katanya tapi makna yang terkandung didalamnya. Tapi semuanya akan lapuk oleh waktu dengan hadirnya karya sastra yang lebih progresif dengan penampilan dan style baru, genre baru, pola baru yang lebih mempesona para pembacanya. Sebagai teks, karya sastra tidak akan berarti apa-apa bila dipandang sebagai sesuatu yang sakral, tanpa dilakukan sebuah interpretasi terhadapnya.  Akibatnya, sastra tidak akan menggumam dan tidak memberikan pencerahan pada publik penikmatnya.  Akhirnya sastra akan dipandang sebelah mata,

Sastra perlu digerakkan, disampaikan; agar nilai sakralnya dapat diterjemahkan secara utuh oleh pembaca, penikmat, dan publik;  karya sastra tidak hanya bergerak di bidang bahasa, dengan ungkapan yang indah dan imajinasi yang tinggi, namun juga harus melihat realitas yang terjadi di tengah masyarakat.  Belajar dari generasi sastra sebelumnya, sastra bukan sekedar teks, namun telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sebagaimana gerakan budaya lokal pada masa lalu, yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan bijak, disampaikan dengan cara elegan, dekat dan sederhana.

Belajar dari Kearifan Lokal

Bangsa kita sebenarnya juga memiliki potensi cita-cita, berupa cita-cita sosial dan cita-cita individual. Cita-cita bangsa Indonesia sekarang tersimpan dalam sastra tutur berupa ungkapan-ungkapan luhur yang jumlahnya ribuan, yang tersimpan dalam sastra tulis maupun sastra lisan.

Dalam kesempatan ini saya mencoba merefleksi kembali sastra yang tumbuh dari ungkapan-ungkapan lama, yang mungkin juga telah terlupakan, seperti ungkapan kearifan lokal "andhap asor" yang punya makna kita harus rendah hati, bukan rendah diri. Ungkapan ini bisa menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk didalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya. "Andhap asor" dalam pemahaman budaya Madura berimplementasi pada "raddhin atna, baghus tengka ghulina" (cantik hatinya, baik tingkah lakunya).

Demikian pula dalam pergaulan sehari-hari, salah satu kunci untuk menciptakan nilai-nilai kebersamaan seperti dicontohkan dalam saloka;  "bil cempa palotan, bil kanca tartan," (kalau beras cempa adalah ketan, kalau teman adalah saudara), demikian pula untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga "mon b'na etobi' sak' jh' nobi'n orng" (apabila kamu dicubit sakit, jangan mencubit orang).

Tentang keseimbangan hidup misal, bahwa kebenaran hidup harus dimulai dari diri sendiri. "Jga paghrr dhibi' jh' parlo ajhg paghrr orng", (jaga pagar sendiri, tidak perlu menjaga pagar orang lain) karena itu hidup harus hati-hati agar tidak menyakiti orang lain, sebab "jhil reya ta' atolang" (lidah ini tak bertulang). Kalau kita kaji sebenarnya kehidupan ini seperti  "odi' dhunnya akantha nt obu'" (hidup di dunia ini seperti meniti rambut), sedikit saja salah melangkah kita tergelincir dalam kenistaan.

Demikian pula tentang tatakrama atau budi pekerti disebut "orng andhi' tatakrama rya akantha pss singgapun, kabelenjh'a dhimma bhai paju," (orang yang mempunyai tatakrama seperti uang Singapura/dollar, dibelanjakan dimanapun akan laku).  Ungkapan ini tentu sangat relevan disinergikan pada kondisi jaman sekarang ini, dengan makin menguatnya budaya luar yang menyusup ketengah-tengah kita melalui perangkat "budaya dollar" tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kita, bagaimana kita bisa bertahan dan mampu menanamkan budi pekerti yang kini jelas-jelas telah tercerabut dari akarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun