Mohon tunggu...
Syaf Anton Wr
Syaf Anton Wr Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat Kecil

Sekedar sapa untuk pembaca Kunjungi: www.lontarmadura.com www.rumahliterasisumenep.org www.maduraaktual.blogspot.com www.liliksoebari.blogspot.com www.babadmaduraline.blogspot.com www.lontarmadura.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Gerakan Sastra

30 Maret 2018   23:08 Diperbarui: 30 Maret 2018   23:18 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Syaf Anton Wr

Perlu kita sadari bahwa bangsa kita sekarang ini tengah mengalami disorientasi budaya, kehilangan arah dan hampir saja kehilangan jadi diri. Hal ini tentu sangat merisaukan bagi kita, khususnya bagi generasi muda, para remaja, lebih-lebih para pelajar di sekolah-sekolah. Bahkan ada sejumlah pihak mengatakan, bahwa bangsa kita sekarang ini mengalami dismotivasi budaya, yang selanjutnya bisa memungkinkan kehilangan motivasi luhur dalam menjalankan langkah-langkahnya kedepan.

Bahkan banyak pihak menyebut bahwa saat ini Indonesia sedang dalam masa dependensy budaya, kekuatan bangsa luar demikian kuatnya menekan dari segala arah,  dan akibatnya bangsa ini mengalami apa yang disebut sebagai ketergantungan budaya. Tergantung pada budaya global yang berada di bawah rezim kendali budaya Amerika, Eropa, Jepang, Cina, India dan Korea.

Itulah kondisi obyektif bangsa Indonesia saat ini, jika ditilik dari sudut kebudayaan, apakah bangsa Indonesia sama sekali tidak memiliki potensi, sehingga begitu mudah kita mengalami disorientasi, dismotivasi, disfungsi dan dependensi budaya?, pada hal kita tahu secara hostoris bangsa ini memiliki potensi besar yaitu berupa nilai-nilai luhur yang mampu beradaptasi segala jaman.

Tentu persoalan ini tidak bisa kita biarkan, karena bangsa dan negara tidaklah mungkin berjalan mundur, tidaklah mungkin dibiarkan begitu saja terlantar, sebab realitas yang terjadi bukan lagi berdasarkan dari data-data karena banyak hal yang harus diperhatian lebih dalam lagi, banyak hal yang harus diurus dan dikembangkan, khususnya bagi penerus bangsa.

Sebuah ironi kerap kita hadapi dan kita perhatikan bahwa apa yang terjadi pada generasi kita tampaknya telah terjadi ketimpangan pilihan, kesimpang siuran arah dan bahkan menjelma keinginan-keinginan yang salah. Tuduhan-tuduhan pada generasi akhir ini disebut-sebut sebagai generasi rawan kriminalitas, generasi yang tak mau diatur, generasi teknologi yang ditentukan oleh aplikasi-aplikasi dunia maya, generasi yang tidak kompromis terhadap nilai-nilai ajaran lama. Dan kenyataannya persoalan demi persoalan muncul dengan berbagai akibatnya.

Apakah kita pernah bertanya, mengapa harus mereka perbuat, apa alasan mereka melakukan tindakan macam itu. Saya terenyuh ketika melihat terjadinya penangkapan-penangkapan kalangan remaja di jalanan, kemudian ditekan dengan pasal-pasal hukum, lalu dieksploitasi media massa secara terbuka. 

Kita hanya diam, mencibir, mencela dan bahkan menekan mereka agar dihukum berat. Sekali lagi saya tanyakan, mengapa mereka lakukan. Dalam anggapan saya, karena mereka tidak diberi ruang, tidak diberi peluang untuk menunjukkan kreatifitasnya. Garis hubungan mereka dengan dunia kreatifitas seolah-olah ditutup. Akhirnya mereka menjadi liar tanpa arah.

Hal ini dapat saya tunjukkan, dan saya buktikan, sekaligus saya pertanyakan sejauh mana gerakan dari generasi sebelumnya memberi kesan, memberi harapan bahwa mereka merupakan potensi besar dengan ribuan karya dan kreatifitasnya. Saya pertanyakan juga, sejauh mana gerakan masyarakat, kelompok adat, para tokoh dan bahkan pemerintah, khususnya yang membidangi pengembangan potensi generasi ini memberi jalan mulus bahwa kemampuan mereka melebihi dari generasi sebelumnya. 

Bagaimana mungkin kalangan muda yang dianggap "liar" itu mampu menciptakan suasana marwah yang indah bila tanpa dibarengi oleh tangan-tangan halus dan bijak disamping kanan kirinya.

Sementara disisi lain, ketika mereka harus menempa ilmu di sekolah, lahan yang seharusnya merepresentasikan kearifan-kearifan sudah dimonopoli oleh tekanan-tekanan keilmuan pragmatis yang konon sebagai ilmu yang mampu membuka ruang luas dalam tatanan kehidupan masa depan. Ilmu yang menjanjikan bahwa para anak didik tidak akan kelaparan dan akan mengalami kemapanan pada kehidupan selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun