Mohon tunggu...
Kasyaf
Kasyaf Mohon Tunggu... karyawan swasta -

peneliti, pengamat sosial budaya politik, blogger & citizen jurnalis. Sekbid Kajian & Dakwah Pemuda Muhammadiyah Jabar, Divisi Publikasi PW Muhammadiyah Jabar.\r\nPemilik blog www.biliksastra.wordpress.\r\ncom. \r\nSurel :kangsyaf@gmail.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

WR Soepratman dan 17 Agustus

18 Agustus 2013   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:11 1866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai wartawan pejuang, Soepratman timbul hasrat untuk menulis lebih serius. Dia menulis novel berjudul “Perawan Desa”. Sayang belum selesai bukunya sudah dibredel sebelum beredar luas. Karena isi ceritanya dinilai akan membahayakan ketertiban umum. Begitulah frustasi demi frustasi mendera hidup WR Soepratman. Sehingga dia mengalami jatuh sakit. Ada yang mengatakan sakit syaraf ada pula yang menyebutkan sakit paru-paru.

Dalam kondisi kepayahan Soepratman diboyong keluarganya dari Jakarta ke Cimahi untuk dirawat orang tuanya yang ada di sana. Tetapi tak lama. Kemudian dibawa ke Surabaya bersama dengan kakak perempuannya. Meski dalam kepayahan sakit Soepratman masih berkobar semangat perjuangannya dalam mengikut gerakan perjuangan kebangsaan. Dia tetap aktip di Parindra-nya Dr. Soetomo sampai menjelang pecah perang Asia Pasifik.

Dalam usia muda, 35 tahun WR Soepratman pergi meninggalkan dunia pada 17 Agustus 1938 di Surabaya, 7 tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia. Hari ini tepat 75 tahun kepergiannya. Tokoh yang lagunya tetap bergema ini dia sendiri tak sempat mendengar dan menyaksikan berkumandang ciptaannya pada saat Proklamasi Kemerdekaan. Dengan tenang iring-iringan pembawa jenazahnya mengantarkan ke peristirahatannya terakhir, meski hanya diiringi sekitar 30 orang. Sebagian besar kalangan anggota Pandu KBI, Surya Wirawan dan Parindra.

Pejuang pers dan seniman berbakat yang lahir 9 Maret 1903 di Jakarta ini layak dikenang dan diteladani sikap dan dedikasi dirinya untuk bangsa dan kemanusiaan. Hidupnya tulus bahkan rela menderita demi bangsa dan kemanusiaan. Jauh dari sikap ingin menonjolkan diri, populer apalagi untuk hidup bermewah-mewahan. Cita-citanya ingin mengabdi untuk kemerdekaan bangsanya.

Nah kita sebagai anak bangsa yang hidup setelahnya, sudah semestinya mengambil pelajaran dari sikap perjuangannya. Makna 17 Agustus dan spirit syair lagu Indonesia Raya–terutama kalimat Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya untuk Indonesia Merdeka–sudahkah meresap menjadi kepribadian?
Mantemans, yuk kita berjuang sesuai kemampuan masing-masing untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Apalagi yang muslim kita punya kata bijaksana dari sang Nabi ,” Khairukum anfaukum linnasi” (Yang terbaik diantara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi kehidupan sesamanya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun