Mohon tunggu...
Kasyaf
Kasyaf Mohon Tunggu... karyawan swasta -

peneliti, pengamat sosial budaya politik, blogger & citizen jurnalis. Sekbid Kajian & Dakwah Pemuda Muhammadiyah Jabar, Divisi Publikasi PW Muhammadiyah Jabar.\r\nPemilik blog www.biliksastra.wordpress.\r\ncom. \r\nSurel :kangsyaf@gmail.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

WR Soepratman dan 17 Agustus

18 Agustus 2013   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:11 1866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bloggers. Kenal kan pada kota Bandung? Bandung, kota perjuangan. Pantas saja banyak “prasasti” perjuangan dikenang di kota ini, Ada Tugu Bandung Lautan API (BLA), ada Monumen Perjuangan Rakyat Jabar dll. Tentu saja nama-nama tokoh perjuangan pun tak ketinggalan. Dan umumnya nama mereka dikenang menjadi nama-nama jalan.

Supratman, sebuah jalan yang menyambung dari jalan Diponegoro (lokasi gedung RRI). Di sini ada rumah seniman Kreatif Harry Roesli. Dan masih di jalan ini terdapat toko buku Toga Mas dan Rumah Buku. Dua diantara sekian toko buku yang sering saya kunjungi–selain toko buku Gramedia. Karena Toga Mas dan Rumah Buku sering disertai discountnya yang lumayan keren untuk ukuran orang Bandung.

Nama jalan Supratman, dalam ejaan yang disempurnakan (1972) kalau dalam catatan sejarah terutama era Hindia Belanda (Van Ovuysen) ditulisnya Soepratman. Masih ingat kan mantemans dengan tulisan The Founding Father Soekarno–yang kemudian berganti menjadi Sukarno. Nah itu ejaan era tempo doeloe pakai “oe” bukan “u”. Jalan Supratman itu diambil dari nama tokoh pejuang pers WR Soepratman. Lengkapnya Wage Rudolf Soepratman.

Awalnya, aku mengira Soepratman itu orang Belanda atau keturunan Belanda. Termasuk isteriku yang mengira Soepratman itu orang Belanda, ya mungkin karena namanya pakai Rudolf. Benarkah begitu?
Ternyata eh ternyata…

Soepratman adalah bangsa pribumi. Kebetulan saja dia sempat menjadi anak angkat dari orang Belanda keturunan (Indo). Karena saudara iparnya adalah bangsa Indo Belanda. Meskipun sempat tinggal bergaul dengan bangsa Indo Belanda, Soepratman seorang pemuda pejuang nasionalis. Jasanya patut dikenang diteladani.

Jurnalis Pejuang

Uniknya WR Soepratman populer dikenal sebagai komponis atau seniman. Padahal Soepratman adalah pemuda  pergerakan di dunia pers alias wartawan pejuang. Mungkin karena lagu ciptaannya “Indonesia Raya” lebih populer mengangkat harum namanya. Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang menjadikan Lagu Indonesia Raya bergema telah membawa Soepratman dikenang sepanjang masa. Karena lagu ciptaannya itu menjadi Lagu Kebangsaan yang selalu dikumandangkan dalam acara-acara resmi upacara kenegaraan. Terutama setiap tanggal 17 Agustus, seperti hari ini dalam rangka peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan yang ke- 68.

Bloggers, tahukah latarbelakang kelahiran lagu kebangsaan kita itu? Ternyata eh ternyata…
Awalnya WR Soepratman tergerak oleh adanya even lomba mengarang lagu yang diumumkan dalam sebuah artikel di majalah Timboel. Yang mengajak para komponis pribumi untuk menciptakan sebuah lagu nasional. Kalau bangsa Belanda memiliki lagu Wilhelmus, lalu bangsa Jepang memiliki lagu Kimigayo, dan bangsa Inggris memiliki lagu God Save The King (Queen). Mengapa bangsa pribumi kita tak memiliki lagu kebangsaan?

Maka WR Soepratman jiwanya tergerak untuk mencipta lagu. Indonesia Raya hasil gubahannya kemudian dikenal dan diterima dalam Kongres Pemuda serta dikumandangkan pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.  Jiwa seni Soepratman memang hebat, bukan hanya lagu Indonesia Raya, tetapi lagu-lagu lainnya dia hasilkan seperti PBI Mars, Surya Wirawan Mars, Raden Ajeng Kartini. Lagu-lagu karya WR Soepratman bercirikan nafas perjuangan.

Sayang, tak banyak yang tahu kalau WR Soepratman itu seorang pejuang dan berprofesi sebagai wartawan (jurnalis).  Bukan seorang jurnalis yang bergaya mewah. Tapi jurnalis pejuang meminjam istilah Moechtar Lubis. Sebagai jurnalis dia hidupnya benar-benar prihatin. Bahkan Soepratman hidup banyak dalam penderitaan karena kekurangan materi dan bergulat dengan kesulita hidup. Penderitaan batin pun dialaminya karena tekanan jiwa merana karena tak bahagia dalam percintaan. Soepratman seorang jurnalis yangbekerja di majalah Sin Po edisi Minggu, yang dimajalah ini pula pertama kali lagu ciptaannya yang terkenal Indonesia Raya dimuat.

Keprihatinannya sebagai pejuang tampak dalam berpakaian. Apabila bajunya dijemur dia kelabakan karena harus mengunjungi rapat dalam waktu bersamaan. Kenapa? karena itulah satu-satunya baju yang dia miliki. Tak ada untuknya berganti. Pantalonnya dibuat dari kain murah berwarna putih yang sudah agak lusuh karena sering dipakai. Demikian pula baju jasnya. Dengan tambahan dasi lurik khasnya kalangan pergerakan “swadeshi”.

Sebagai wartawan pejuang, Soepratman timbul hasrat untuk menulis lebih serius. Dia menulis novel berjudul “Perawan Desa”. Sayang belum selesai bukunya sudah dibredel sebelum beredar luas. Karena isi ceritanya dinilai akan membahayakan ketertiban umum. Begitulah frustasi demi frustasi mendera hidup WR Soepratman. Sehingga dia mengalami jatuh sakit. Ada yang mengatakan sakit syaraf ada pula yang menyebutkan sakit paru-paru.

Dalam kondisi kepayahan Soepratman diboyong keluarganya dari Jakarta ke Cimahi untuk dirawat orang tuanya yang ada di sana. Tetapi tak lama. Kemudian dibawa ke Surabaya bersama dengan kakak perempuannya. Meski dalam kepayahan sakit Soepratman masih berkobar semangat perjuangannya dalam mengikut gerakan perjuangan kebangsaan. Dia tetap aktip di Parindra-nya Dr. Soetomo sampai menjelang pecah perang Asia Pasifik.

Dalam usia muda, 35 tahun WR Soepratman pergi meninggalkan dunia pada 17 Agustus 1938 di Surabaya, 7 tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia. Hari ini tepat 75 tahun kepergiannya. Tokoh yang lagunya tetap bergema ini dia sendiri tak sempat mendengar dan menyaksikan berkumandang ciptaannya pada saat Proklamasi Kemerdekaan. Dengan tenang iring-iringan pembawa jenazahnya mengantarkan ke peristirahatannya terakhir, meski hanya diiringi sekitar 30 orang. Sebagian besar kalangan anggota Pandu KBI, Surya Wirawan dan Parindra.

Pejuang pers dan seniman berbakat yang lahir 9 Maret 1903 di Jakarta ini layak dikenang dan diteladani sikap dan dedikasi dirinya untuk bangsa dan kemanusiaan. Hidupnya tulus bahkan rela menderita demi bangsa dan kemanusiaan. Jauh dari sikap ingin menonjolkan diri, populer apalagi untuk hidup bermewah-mewahan. Cita-citanya ingin mengabdi untuk kemerdekaan bangsanya.

Nah kita sebagai anak bangsa yang hidup setelahnya, sudah semestinya mengambil pelajaran dari sikap perjuangannya. Makna 17 Agustus dan spirit syair lagu Indonesia Raya–terutama kalimat Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya untuk Indonesia Merdeka–sudahkah meresap menjadi kepribadian?
Mantemans, yuk kita berjuang sesuai kemampuan masing-masing untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Apalagi yang muslim kita punya kata bijaksana dari sang Nabi ,” Khairukum anfaukum linnasi” (Yang terbaik diantara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi kehidupan sesamanya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun