Saya menghabiskan masa tiga hari dengan hanya berbaring di kamar rumah sakit. Sesekali menyalakan monitor tivi yang terpasang di samping ranjang. Saluran televisi Jerman berjalan seperti biasa. Sinetron, dokumenter, kuis, acara bincang-bincang.
Berita tentang aksi teror di Paris dibacakan bersamaan dengan kelanjutan penemuan pesawat Air Asia, dan statemen Merkel tentang Pegida.
Sesekali acara bincang-bincang menampilkan tema tentang kesepakatan pemahaman tentang toleransi yang telah berjalan di Jerman.
Sementara CNN, satu-satunya saluran berbahasa Inggris di Jerman, tampak begitu intens mengumbar berita tentang teror di Paris. Kapanpun saya pindah ke saluran itu berita tak lain soal tragedi kelabu itu. Pagi, siang, malam. Mengupas segala hal berkaitan dengan kelompok teroris dan ekstrimis Islam. Menjejali pikiran seakan-akan ia bukan lagi saluran berita tapi bagian dari propaganda penebar kebencian pada kelompok tertentu. Seakan tak ada lagi tema penting di belahan dunia lain dan menarik untuk diangkat.
Pemberitaan di dunia global terkadang mengalahkan rasa nyeri di perut akibat operasi. Ada banyak berita kesedihan. Membuat saya merasa ciut untuk menjadi sentimentil seorang diri. Saya tak tengah tinggal di daerah perang yang memporakporandakan hak hidup saya. Sebaliknya, hidup lumayan nyaman dengan pernak-pernik masalah pribadi. Tak cukup alasan untuk meratapi hidup sendiri.
Meski kadang pelupuk mata terasa basah dan rasa aneh yang menyerang. Rasa ngilu tak mampu dijelaskan setiap kali melihat gambar perempuan dengan perut membesar atau gambar bayi. Membuat saya sempat berjanji untuk tidak akan mengumbar gambar mereka bila saya mendapat anugrah itu suatu saat nanti..
Pforzheim, 16 Desember 2015.