Kasus intoleransi di Indonesia makin meresahkan. Satu di antaranya berita yang diunggah Tempo pada kolom berita nasional menarik perhatian publik. Seorang seniman berusia 42 tahun, Slamet Jumiarto. Saat itu menyewa rumah di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Namun setibanya dia memberikan identitasnya pada pihak setempat, dia mendapati penolakan izin tinggal. Hal itu dilatarbelakangi oleh identitas agama yang dianutnya. [02/04/2019].
Dasar dari penolakan tersebut karena adanya surat keputusan dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan (POKGIAT) nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/2015 bahwa pendatang baru harus beragama Islam. Sebab kejadian itu, Slamet mengadu pada pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bantul.
Pengaduannya pun menambah daftar peristiwa intoleransi dan memberikan fakta bahwa meskipun Indonesia adalah negara kesatuan, ternyata hal tersebut tidak menafikan adanya intoleransi, salah satunya masuk kategori diskriminasi.
Kali ini, kasus tersebut dimulai dengan pelarangan seorang nonmuslim untuk tinggal di suatu tempat demi mengantisipasi adanya pencampuran makam. Memang pengurusan jenazah antara muslim dan nonmuslim jauh berbeda. Namun, larangan tinggal tersebut bukanlah tindakan yang benar dan dapat digolongkan sebagai bentuk intoleransi.
Pengurusan jenazah di Indonesia sendiri masih bercampur budaya para pendahulu daerahnya. Selain itu, tempat pemakaman bukan hanya satu. Lagi pula Islam mengajarkan toleransi. Politik yang pernah dipimpin oleh Islam justru sangat terbuka adanya penduduk nonmuslim dan tinggal bersama di tengah masyarakat muslim.
Tidak ada paksaan, yang ada hanya kedamaian karena toleransi. Becermin dari politik Islam yang terdahulu, tentu aturan yang melarang nonmuslim tinggal di suatu tempat hanya karena takut adanya pencampuran makam, menurut kami, itu tidak tepat.
Hadis dari Basyir ra. menceritakan bahwa dia bersama Rasulullah saw. berjalan melewati kuburan orang musyrikin, lalu beliau saw. bersabda tiga kali "Mereka tertinggal untuk mendapatkan kebaikan yang banyak". Kemudian mereka berdua melewati kuburan orang muslim, lalu beliau saw. bersabda "Mereka telah mendapatkan kebaikan yang banyak". [HR. Ahmad no.20787, Abu Daud no.3230 dan dinilai shahih Syu`aib al-Arnauth].
Berdasarkan hadis tersebut, jumhur ulama menilai haram mencampurkan kuburan muslim dan nonmuslim, kecuali dalam keadaan darurat seperti disebutkan dalam kitab Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah jilid 19 halaman 21.
Berdasarkan UU 1945 pada pasal 28E ayat 1 disebutkan dengan jelas bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Berdasarkan hal tersebut tampak jelas, baik secara agama Islam maupun hukum resmi negara Indonesia menjunjung tinggi toleransi di tengah perbedaan. Ketika ada sekelompok orang yang tidak memahami hakikat toleransi dan memaksakan diri tanpa dasar pemahaman yang utuh sangat rawan menimbulkan sikap intoleran hingga berakibat diskriminasi dan berujung perpecahan.
Lalu bagaimana negara ini dapat disebut negara kesatuan jika demikian? Perdamaian tidak akan ada, apalagi kesejahteraan.
Faktanya, Islam memang melarang adanya pencampuran makam muslim dengan nonmuslim. Tetapi jika hal tersebut dipahami bahwa nonmuslim tidak boleh tinggal di lingkungan warga muslim, itu pemahaman keliru. Hemat kami, antisipasi pencampuran makam bisa dengan cara pemberian fasilitas makam untuk nonmuslim atau pemberitahuan tempat makam nonmuslim terdekat dengan daerah tersebut.
Hasya Dinan Hamidah, perwakilan kelompok 5 RBMK musim 5 Bastra.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H