Suara mesin-mesin kendaraan berlalu lalang, meski matahari belum sepenuhnya menampakkan kehadirannya. Riuh rendah kehidupan di sebuh kota besar mulai dimulai, meski gelap masih menyelimuti, dan bintang masih enggan pergi.Â
Pun disebuah gubuk kecil di salah satu sudut kolong jembatan di kota itu, gubuk yang hanya terbuat dari tumpukan kardus bekas, tanpa atap karena sudah otomatis beratap beton-beton besar penyangga ribuan kendaraan yang hilir mudik berseliweran. Mungkin dari permukaan hanya terlihat seperti jembatan biasa, tapi disitulah kehidupan beberapa keluarga dipertaruhkan.Â
Tepat ketika matahari menyempurnakan kehadirannya, suasana gubuk itu mulai ramai dengan tangisan bayi dan teriakan seorang ibu yang masih tampak muda  memanggil-manggil anaknya, bercampur dengan deru mesin-mesin kendaraan kota.
"Aryaa, ayo keluar jaga adikmu!!!" teriak ibu itu, sementara dalam gendongannya sesosok bayi perempuan yang belum genap berusia satu tahun menangis, menumpahkan semua keinginannya dalam tangisan.
"Iya, Bu!" jawab sesosok laki-laki belasan tahun yang berjalan menuju ke arah ibu itu.
Kemudian, bayi perempuan itu diambil alih oleh anak laki-laki yang dipanggil "Arya" itu. Perlahan, ditatapnya penuh kasih adik semata wayangnya, kemudian ia berusaha menghiburnya dengan menirukan berbagai macam suara hewan yang beberapa saat kemudian berhasil menghentikan tangisannya.
Sementara ibu itu pergi ke dapur untuk menyelesaikan urusan yang sudah sejak dini hari ditekuninya. Memasak berbagai macam jajanan pasar, itulah rutinitas setiap paginya untuk kemudian dijajakan ke pasar ataupun ke sekeliling kompleks terdekat, dengan berjalan kaki tentunya.
Akan tetapi, semenjak adanya kerusuhan yang disebabkan virus yang mematikan itu, jualannya semakin hari semakin sepi dan begitu juga pendapatannya yang semakin menurun serta beberapa kebijakan dari pemerintah yang membatasi ruang geraknya. Hal ini tidak serta merta menyurutkan langkahnya untuk mengumpulkan asa dan merajut masa depan kedua anaknya. Meski ia harus hidup sendiri setelah sebulan lalu suami yang menjadi pondasi keluarganya menutup lembaran kehidupannya dengan gejala yang katanya berasal dari virus mematikan yang sedang mewabah itu, tapi ia tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Dan di gubuk kecil di sudut kolong jembatan kota inilah ia membangun keluarga kecil bersama kedua anaknya, setelah sebelumnya rumah mereka diambil paksa oleh rentenir yang mengaku bahwa sang suami memiliki hutang pada rentenir itu. Dan ia hanya pasrah ketika rentenir dan anak buahnya mengobrak-abrik isi rumahnya dan mengeluarkan barang-barangnya. Memang, kehidupan di kota tak seindah angannya dulu ketika memutuskan pindah dari desa. Pada akhirnya ia memutuskan membangun gubuk kecil itu karena uang peninggalan suaminya hanya tinggal hitungan hari untuk menghabiskannya itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.
" Arya, bantu ibu membungkus kue-kue ini!" teriak ibu itu setelah selesai membereskan peralatan memasaknya.
Kemudian, anak laki-lakinya itupun datang dengan menggendong adik perempuannya yang sedang memegang boneka Jerami dan memainkannya.