Mohon tunggu...
Wisnu Pitara
Wisnu Pitara Mohon Tunggu... Guru - Sekadar membaca saja

Sekadar berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni

Dewi Drupadi yang Kontroversial

22 September 2024   20:11 Diperbarui: 22 September 2024   20:15 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raden Karna Drupadi

Pendahuluan: Jejer Pancala

Alkisah, seorang raja dari negeri Pancala bernama Prabu Drupada sedang mengadakan sidang paripurna kabinet. Hadir para pembesar kerajaan lengkap bersama kerabat dalam kerajaan, tidak ketinggalan keluarga dekat raja yaitu permaisuri beserta putrinya. Selesai melakukan berbagai evaluasi capaian program kerja, raja melontarkan sebuah gagasan. Dalam rangka menggairahkan cabang olah raga (cabor) panahan, raja bermaksud mengadakan kompetisi atau lomba panahan berhadiah sangat besar, yaitu mempersunting putri raja yang sedang menginjak usia dewasa. Untuk itu raja memerintahkan menteri informasi untuk mengumumkan melalui web dan akun-akun media sosial resmi kerajaan supaya menjangkau calon-calon peserta dari kalangan atlit terbaik.

Peraturan Lomba yang Sulit

Sekretariat kerajaan pun tentu sibuk mempersiapkan acara besar, sebagaimana titah raja di depan sidang paripurna yang dihadiri hampir semua pembesar kerajaan. Aspek legal dasar hukum sebagai pegangan pengadaan lomba tentu harus dipersiapkan. Panitia pelaksana pun disusun, umumnya untuk menangani perhelatan besar, mereka terdiri dari para personil secara lintas lembaga dan kementerian.

Tak kalah penting adalah susunan panitia pengarah (steering committee) yang bertugas memberi arahan dan evaluasi rencana dan jalannya lomba agar sesuai tujuan semula. Paduka raja berkenan duduk sebagai ketua panitia pengarah supaya maksud dan tujuan lomba sesuai dengan kehendak dan suasana kebatinan beliau sebagai pemilik ide awal.

Berbagai detail acara pun disusun oleh panitia pelaksana sesuai arahan, berikut personil yang bertanggung jawab dan tentu disertai anggaran yang harus disiapkan pada setiap mata acara. Garis waktu (timeline) ditambahkan untuk mempermudah para pelaksana saat berlangsung acara, sekaligus agar mempermudah koordinasi antar seksi dan personil.

Seksi komunikasi hanya salah satu urusan yang cukup pelik terkait pemberitaan mengingat jarak yang cukup jauh dan melintasi batas-batas kerajaan. Belum seluruh jaringan jalan dan sarana telekomunikasi mampu menjangkau secara merata ke semua wilayah, bahkan di wilayah perkotaan pun masih sangat terbatas. Bisa dimaklumi apabila adopsi teknologi digital masih sangat memprihatinkan disebabkan oleh berbagai hal mendasar, terutama aspek ketersediaan lembaga dan tenaga ahli yang kompeten.

Perhelatan demikian tidak bisa dihindari turut memobilisasi berbagai bahan dan makanan, baik untuk para peserta maupun panitia penyelenggara. Hitung-hitungan berapa jumlah hewan dipotong, berapa siwur (ukuran volume) beras harus dimasak, sayur-mayur, bumbu-bumbu sesuai selera lokal maupun manca kerajaan, dan bahan pelengkap lain, adalah tugas-tugas rutin institusi urusan pangan kerajaan. Rakyat biasa pun sudah lazim dikerahkan membantu secara sukarela di ujung-ujung rangkaian konsumsi, yaitu memasak dan penyajian.

Sesampai draf teknis pelaksanaan lomba dari panitia pelaksana di meja tim pengarah, terjadi beberapa koreksi yang bersifat mayor. Raja menghendaki bahwa busur yang digunakan pada perlombaan adalah busur pusaka dari kerajaan Pancala, para peserta tidak boleh menggunakan busur panah masing-masing. Busur kerajaan ini sangat berat, dan sangat berbeda dengan busur panah biasa, dan tidak bisa dibandingkan dengan busur buatan pabrik sekarang. Panitia pun menambahkan persyaratan ini di dalam peraturan lomba.

Peraturan kedua, peserta lomba harus membidik target melalui sebuah baskom yang dituang minyak. Jadi peserta tidak melihat dan membidik langsung pada target, tetapi membidik melalui permukaan minyak yang ada di baskom. Duh, bagaimana ini. Sama saja seorang peserta harus ditutup mata pada saat membidik target. Namun karena kehendak raja memang demikian, maka para panitia tidak bisa tidak harus menulis dan menyebarkan peraturan demikian. Tak satu pun panitia berani mempertanyakan peraturan ini.

Raden Karna Memenangi Lomba

Tiba hari saat pelaksanaan lomba panahan. Kesempatan ini tentu sudah ditunggu-tunggu masyarakat kerajaan sebagai salah satu hiburan. Penonton datang berbondong-bondong mulai pagi sebelum acara dimulai. Di dalam acara semacam ini kerajaan sengaja membuat stan-stan yang dapat diisi oleh para penjual, mulai makanan. Minuman, sampai barang-barang kerajinan dan hasil seni. Beberapa lembaga kerajaan sengaja membagikan makanan secara gratis. Puluhan  perusahaan milik kerajaan diperintahkan membuka stan-stan dan menggunakan dana-dana CSR (corporate social responsibility) yang masih tersisa untuk memberi layanan kepada masyrakat.

Lomba diadakan di alun-alun di depan pendopo agung yang biasa sebagai tempat pasewakan. Acara itu dihadiri rakyat yang diwakili oleh para tokoh masyarakat, baik formal maupun informal seperti para adipati, tumenggung, camat, lurah, rois, modin, dan sebagainya. Rakyat kecil biasa ditempatkan di alun-alun, karena di dalam pendopo khusus bagi golongan pejabat atau bangsawan.

Panitia sudah menyiapkan acara dengan baik, umbul-umbul, plakat, spanduk, bendera, bandir, dan berbagai asesoris lainnya sudah dipasang sehari sebelumhari-H, agar tempat pelaksanaan lomba terkesan meriah. Beberapa personil seksi penyambutan tamu nampak bersiap-siap di beberapa pintu masuk alun-alun. Tempat kuda dan delman para tamu disiapkan tersendiri agar tidak bercampur dengan kerumunan penonton. Tidak ketinggalan divisi satwa kerajaan pun dimobilisasi untuk membantu para tamu, barangkali mereka membutuhkan bantuan, baik merawat maupun menyediakan makanan bagi kuda saat para pemilik mengikuti lomba.

Nampak hadir para bangsawan dari kerajaan-kerajaan tetangga. Mereka dapat dilihat dari model dan warna pakaian yang beraneka ragam menunjukkan kekhasan masing-masing. Orang-orang dengan perawakan tinggi, besar, dan kekar yang dikenal dari kerajaan pegunungan yang berjarak cukup jauh pun datang. Para pangeran dari kerajaan yang berbatasan dengan Pancala, di barat, selatan, timur, dan utara semua datang, meskipun tidak terlalu berharap memenangi lomba, mereka menyempatkan diri paling tidak untuk bersilaturahmi.

Tidak ketinggalan datang secara berombongan para murid dari sekolah Sokalima di bawah asuhan Penembahan Durna dipimpin oleh mahapatih Sengkuni. Raden Karna, pangeran yang belum lama diangkat oleh raja, turut serta di dalam rombongan besar para pangeran Astina. Namun tidak tampak ikut serta Raden Arjuna, entah sedang ada urusan apa atau ke mana.

Saat lomba pun dimulai, ketua panitia mengumumkan menggunakan megaphone agar kata-katanya terdengar orang banyak. Ternyata peserta yang sudah mendaftar untuk ikut lomba memanah cukup banyak. Panitia pun sudah membuat daftar sesuai urutan pendaftaran. Para peserta dipanggil sesuai urutan untuk giliran memanah. Sesuai peraturan peserta harus membidik sasaran menggunakan busur milik kerajaan, adapun anak panah diizinkan mereka membawa masing-masing.

Entah material pembuat busur itu berasal dari logam tertentu atau jenis kayu langka, atau memang mengandung khodam, banyak peserta tidak kuat mengangkat busur kerajaan yang telau disiapkan. Mungkin di bawah tanah tempat meletakkan busur sudah ditimbun besi bermagnet tertentu sehingga busur yang mengandung unsur logam jadi sangat berat, tidak ada seorang pun tahu. Para peserta cukup sportif, bagi yang tidak mampu mengangkat busur, sesuai peraturan berarti gugur. Beberapa peserta yang sanggup mengangkat dan membidik banyak yang oleng saat membidik saking beratnya busur.

Giliran para pangeran Astina, mulai dari Raden Duryudana, Dursasana, Durmagati, dan seluruh adik kandungnya, meski perawakan tinggi besar, tak kuasa menundukkan beratnya busur panah. Putra-putra mendiang Prabu Pandu, yaitu Yudistira, Bima, Nakula, dan Sadewa, minus Arjuna, tak mampu membidik sasaran dengan baik.

Atas bujukan Raden Duryudana, Raden Karna, pangeran yang belum lama diangkat dan diserahi tugas sebagai komandan artileri medan, agar mencoba memanah. Sesuai pekerjaan sehari-hari urusan persenjataan, siapa tahu dia mampu menaklukkan senjata itu. Karena disuruh oleh Raden Duryudana sendiri, Raden Karna tidak bisa menolak. Segera dia maju mendekati busur pusaka kerajaan itu.

Sebagai komandan pusat persenjataan artileri medan, dia tentu mengenal jenis-jenis dan karakteristik masing-masing senjata, baik senjata ringan atau berat. Setelah mengamati bentuk dan bahan pembuat busur, dia menyimpulkan bahwa busur berat itu harus diperlakukan layaknya senapan mesin, yakni menggunakan penopang saat digunakan. Analogi dengan senjata berat SM-5 kaliber 12,7 mm buatan Pindad yang dilengkapi penopang dan bisa dipasang di mobil, dan mampu memuntahkan 400 peluru per menit.

Dia minta seorang tentara penjaga membantu menopang busur, sehingga dia bisa dengan leluasa bergerak ke kanan kiri maju atau mundur untuk membidik. Arah bidikan melalui bayangan di permukaan minyak di baskom pun dengan mudah dia bisa perkirakan, tinggal memperhitungkan ketinggian dari sasaran. Dengan daya konsentrasi penuh, di mana rasa yang bekerja, desir angin pun membantu untuk mengarahkan pucuk anak panah tepat kepada sasaran. Hold, back tensions, dan release!. Anak panah melesat menuju target sasaran. Dan, jab!. Ujung anak panah yang runcing tepat menancap di tengah-tengah sasaran.

Sejenak sunyi suara penonton karena terperangah seakan tak percaya atas apa yang baru saja terjadi. Ini adalah saat pertama setelah para peserta lain mencoba dan gagal, ini seseorang nampak dengan mudah dan cepat. Gemuruh sorak-sorai penonton sebagai tanda perayaan seseorang yang berhasil menancapkan anak panah ke sasaran. Bak pertandingan sepak bola sesaat setelah bola berhasil menggoyang jaring gawang, gemuruh sorak para suporter.

Juri dan panitia pun sigap mencek ulang keberhasilan itu. Tidak ada ketidaksesuaian yang terjadi, artinya kesuksesan ini sah, sahih, atau valid. Setelah ditunggu beberapa saat, ternyata itu adalah peserta terakhir, dan tidak ada lagi peserta yang mencoba mengangkat busur. Ketua panitia pun melapor kepada Baginda Raja, bahwa Raden Karna keluar sebagai pemenang lomba. Kuatir hari keburu sore, raja segera bertitah kepada putrinya, yaitu Wara Drupadi, yang sedari tadi juga ikut menonton lomba, bahwa seseorang memenangi lomba ini.

Tak disangka, Wara Drupadi seketika menolak, tantrum, tidak mau dikawinkan dengan pangeran Astina, yang menurut kabar bahwa dia sebetulnya anak seorang kusir kereta kuda. Raja pusing kepala demi mendengar ini. Bagaimana cara mengatasi masalah ini. Demi menjaga marwah kerajaan, maka raja pun segera menemui Raden Karna dan menyampaikan bahwa putrinya tidak bersedia dikawinkan dengannya.

Meskipun di dalam hatinya dia mengakui memang hanya anak seorang tukang delman, tetapi karena peraturan sudah diumumkan, Raden Karna pun tersulut marah juga. Keluar kata-kata bahwa Drupadi itu perempuan sombong, “Semoga saja jadi perawan tua,” ujarnya. Dia merasa dihina gegara status yang ia sandang sebelumnya. Meskipun kini dia seorang pangeran dengan kedudukan penting dan terhormat, tetap tidak dianggap oleh seorang putri sombong.

Di tengah keributan itu, tiba-tiba datang seorang berpakaian santri namun lusuh mungkin akibat debu yang menempel pada baju setelah berjalan jauh. Dia nyelonong di tengah kerumunan antara panitia dan keluarga kerajaan beserta putri, dan meminta izin mendaftar untuk mengikuti lomba. Demi mendengar kata-kata santri itu, Dewi Drupadi langsung nyeletuk mengizinkannya untuk sekadar mengakhiri konflik yang tengah terjadi. Raja pun terpaksa menyetujui karena dorongan rasa sayang kepada putrinya.

Mungkin karena doa atau memang mempunyai kekuatan tenaga dalam, santri itu terlihat mampu mengangkat busur panah kerajaan, meski tetap perlu dibantu oleh seorang tentara kerajaan. Setelah bersiap dan membidik target sasaran, bahkan dia memejamkan mata dan hanya sekilas mengintip pada permukaan minyak di baskom. Dan, slab! Anak panah lepas dari busur dengan kecepatan tinggi. Serangkaian langkah persiapan, menahan nafas, tarikan tali busur, bidikan, pelepasan, dan pengakhiran yang sangat tepat dan akurat. Anak panah menancap tepat berdempetan dengan bekas tancapkan anak panah Raden Karna. Penonton sangat terkejut dengan kejadian itu, bahwa seorang santri lusuh mampu melakukan itu dengan hasil sempurna.

Tidak ingin mendapatkan masalah kedua kali, raja bertitah kepada putrinya untuk mau dikawinkan dengan santri lusuh peserta lomba itu. Santri itu pun menjawab bersedia menerima saat dikonfirmasi dan akan dijadikan sebagai hadiah oleh-oleh bagi ibunya yang sedang menunggunya di rumah. Dia merasa bersalah telah meninggalkan ibunya selama beberapa minggu tanpa pamit.

Menurut undang-undang dan adat perkawinan waktu itu, sepasang pengantin tidak dicatat di kantor urusan agama seperti pernikahan orang muslim, tetapi cukup diserahkan oleh wali perempuan kepada calon suaminya. Tidak ada pencatatan khusus atau diberikan buku nikah. Sangat sederhana bagi para pria untuk menikahi seorang perempuan. Bahkan sering kali kalangan bangsawan pada saat sedang bermain, dan tertarik pada seorang perempuan, langsung bisa dinikahi.

Melihat di situ ada Yudistira, Bima, Nakula, dan Sadewa berada di kerumunan penonton, santri itu pun mendekati mereka. Belum sempat santri itu memperkenalkan diri, Yudistira segera menyadari bahwa orang berpakaian santri lusuh itu ternyata adalah Arjuna, adiknya yang sudah beberapa hari membuat ibunya bersedih. Dia pergi tanpa pamit.

Selama kelima bersaudara itu dalam perjalanan pulang ke Astina, Yudistira menceritakan bahwa ibunya sedih dan sering nangis menanyakan ke mana Arjuna pergi. Saudara-saudaranya berusaha mencari namun tidak bisa jauh-jauh dari istana karena banyak tugas dan pekerjaan rumah dari mata-mata pelajaran di sekolah Penembahan Durna. Arjuna mengatakan kembali bahwa hadiah lomba akan dipersembahkan kepada ibunya sebagai oleh-oleh agar ibunya tidak lagi bersedih hati.

Sesampai di kesatrian, Arjuna ditemani saudara-saudaranya langsung menemui ibu Kunti dan menyampaikan permintaan maaf dan membawa oleh-oleh buat ibunda. Dengan maksud rasa  sayang pada semua putranya, sambil masih menangis dan gembira atas kepulangan putranya, beliau mengatakan bahwa hadiah itu dibagi untuk lima orang bersaudara agar tidak ada yang iri. Perkataan ini diulang beberapa kali, dengan maksud menekankan kerukunan bagi putra-putra tersayang. Beliau tidak mengetahui bahwa oleh-oleh itu berupa seorang putri hasil Arjuna memenangi lomba memanah.

Kelima kesatria putra mendiang Prabu Pandu itu mendengar dengan jelas perkataan ibunya, bahwa hadiah yang diperoleh Arjuna harus dibagi lima secara adil, agar tidak timbul iri di kemudian hari. Ketika itu mereka masih remaja dan belum memasuki usia dewasa. Beberapa saat mereka berdiskusi sesuai dengan pengetahuan dan tingkat pemahaman masing-masing.

Cukup sulit bagi mereka untuk mencapai kata sepakat demi menjaga dawuh dari ibunda. Bila menggunakan istilah zaman sekarang, seorang laki-laki memperistri dua orang perempuan atau lebih satu disebut poligami, seorang perempuan yang bersuami lima orang laki-laki disebut poliandri.

Akhirnya Raden Arjuna mengusulkan, bahwa Yudistira saja sebagai anak sulung yang memperistri putri itu. Tentu saja dia menolak. Namun, atas desakan Bima maupun kedua adik kembar, Nakula dan Sadewa, akhirnya dia setuju menikahi Drupadi.

Namun berita bahwa hadiah lomba memanah itu diserahkan kepada mereka berlima sudah kadung tersebar oleh saudara-saudara mereka di istana kerajaan. Berita hoax ini disebarkan dan dibuat bahan candaan oleh Duryudana dan adik-adiknya. Meskipun mereka bersama-sama tinggal di istana kerajaan, perseteruan antara Yudistira dan Duryudana beserta adik-adik keduanya kerap kali terjadi.

Tancep Kayon

Raden Karna dengan Yudistira, Bima, dan Arjuna adalah saudara kandung lahir dari ibu yang sama, yaitu ibu Kunti. Ayah mereka adalah Prabu Pandu raja kerajaan Astina, namun oleh suatu sebab, beliau meninggal saat masih menjabat sebagai raja. Raja pun digantikan oleh kakaknya seorang tuna netra yakni Prabu Drestarastra dan mempunyai putra Duryudana dengan 99 orang adik-adiknya.

Raden Karna setia kepada Duryudana dan merasa hutang budi karena selalu dibela olehnya. Sementara Duryudana sering memanfaatkan Raden Karna untuk mengalahkan Yudistira dan adik-adiknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun