Mohon tunggu...
Wisnu Pitara
Wisnu Pitara Mohon Tunggu... Sekadar membaca saja

Sekadar berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Raden Karna Bertemu Raden Arjuna

18 September 2024   11:02 Diperbarui: 18 September 2024   11:07 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raden Karna vs Arjuna

Pendahuluan

Setelah mengantongi ijazah tanda kelulusan dari sekolah Ramaparasu, Raden Karna hendak mendaftar di sekolah Panembahan Durna. Sesampai dia di sana, ternyata sedang berlangsung ujian akhir semester bagi para siswa sekolah tersebut. Ujian dilaksanakan dalam bentuk ekspresi dan praktik memamerkan kemampuan. Para siswa harus menunjukkan praktik hasil dari proses pembelajaran materi yang sudah diperoleh selama belajar di sekolah. Oleh karena kantor dan administrasi sekolah pun tutup, dia ikut larut menonton di antara banyak orang pada pelaksanaan ujian yang diselenggarakan di lapangan terbuka di dalam kompleks sekolah.

Kompetisi Memanah

Karena minat besarnya pada olah raga panahan, maka Karna melangkahkan kaki untuk menonton para siswa yang sedang mengikuti ujian panahan. Nampak olehnya, siswa-siswa yang sedang mengikuti ujian panahan, semua mengenakan baju bangsawan, tidak satupun terlihat dari kalangan rakyat biasa. “Tak apalah,” pikirnya, sekalian melaksanakan semacam benchmarking kemampuan memanah yang sudah dia pelajari beberapa tahun di sekolah sebelumnya. Siapa tahu ada hal atau teknik baru yang bisa dipelajari untuk menambah pengetahuan dan kemampuan dalam panah-memanah.

Ujian itu ternyata dalam bentuk praktik langsung, agar lebih bersemangat sekaligus dibuat dalam bentuk kompetisi kecil atau perlombaan, sehingga memunculkan siapa pemenangnya. Peserta ujian ternyata cukup banyak, ada sekitar seratusan orang lebih. Karena keterbatasan jumlah target, maka peserta dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kali masing-masing kelompok melakukan praktik memanah, tampak guru dan para asisten berusaha menekankan dan memberikan bimbingan bahwa cara dan teknik yang dipraktikkan di dalam lomba harus benar seperti yang telah diajarkan. Ini bukan semata-mata lomba mencari pemenang, tetapi lebih merupakan ujian kompetensi di mana berbagai aspek harus sesuai dengan pedoman dan prosedur operasional baku (system operating procedure).

Beberapa pengetahuan dasar menyangkut peralatan, misal jenis busur dan anak panah,  ditanyakan oleh para guru dan asisten pada saat sebelum para siswa maju mengambil sikap set up. Secara acak para siswa ditanya beberapa prinsip kritis, tidak bisa tidak harus dikuasai, oleh para siswa. Pada saat membidik (aiming), mereka masih ditanya oleh para asisten tentang konsentrasi, tarikan nafas, pandangan mata, dan sebagainya, bahkan beberapa saat sebelum release, melepaskan anak panah.

Kesemuanya dicek dan cek kembali oleh para asisten untuk meyakinkan bahwa berbagai hal mendasar harus dipahami dan dikuasai oleh para siswa sekolah itu. Menilik dari beberapa tulisan pada spanduk, standing banner, dan kaos para siswa, Karna dapat membaca bahwa nama sekolah dari mana para siswa itu berasal adalah Perguruan Sokalima.  Sekolah ini memang sangat terkenal di seantero jagad, melintas wilayah kerajaan karena didirikan dan diasuh secara khusus oleh Panembahan Durna, seorang rohaniwan yang sangat pintar filsafat dan memahami betul kemiliteran serta menguasai ilmu politik.

Ada beberapa kelas panahan yang dipertunjukkan oleh siswa-siswa, meskipun tidak semua siswa harus mengikuti seluruh kelas atau cabang yang ada. Ada kelas target, di mana hampir semua siswa harus menunjukkan kemampuan dan penguasaan atas teknik dasar yang sudah dipelajari, tentu berikut dengan variasi jarak hingga puluhan meter. Ada kelas target benda (3D archery) dengan target berupa boneka berbentuk binatang bergerak. Ada juga kelas panahan terbang (flight archery), di mana para peserta harus menunjukkan kemampuan untuk melepaskan anak panah sejauh-jauhnya sampai dengan jarak ratusan meter.

Raden Karna berada pada lokasi pertunjukan kelas lomba khusus, rupanya merupakan perpaduan antara 3D archery dengan flight archery, di mana para siswa diberikan target boneka binatang yang bergerak oleh angin. Boneka diletakkan pada ketinggian dengan penopang dan diberikan tali sedemikian rupa sehingga bisa berayun sesuai dengan arah dan kecepatan angin. Bagi kelas 3D archery ini merupakan kelas yang sulit, dan biasanya hanya bagi para master saja. Ditambah lagi jarak antara pemanah dan target sangat jauh, di mana secara umum penilaian hanya pada jauhnya jarak terbang anak panah saja. Ini diperuntukkan secara khusus bagi siswa-siswa berbakat dan sangat tekun belajar dan berlatih.

Nampak oleh Karna ada beberapa siswa peserta, misalnya yang berbadan tinggi berkulit putih bersih dengan pakaian serba bagus, ada yang berbadan tinggi besar hitam, ada kesatria yang terlihat ugal-ugalan, ada yang  berperawakan kesatria dengan kulit bersih tetapi nampak sangat cekatan, ada yang berpenampilan sangat menjaga diri, dan sebagainya. Namun tak satupun ia mengenalinya. Maklum saja selama ini dia memang tidak pernah ikut mengawal delman ayahnya sampai mendekati istana raja, jadi sama sekali tidak satu pun mengenali wajah para bangsawan kalangan dalam kerajaan itu.

Juara Memanah

Para guru dan asisten telah mencek kembali target berupa beberapa boneka di ketinggian, dan boneka-boneka sudah dipastikan bisa bergerak mengikuti ke mana arah angin. Karena boneka-boneka berada di ketinggian, tentu kecepatan angin cukup besar dan kadang secara tiba-tiba terjadi turbulensi kecil yang membuat boneka bergerak dan bergoyang tidak beraturan. Seseorang yang belum terlalu tua, namun berpakaian ala seorang agamawan atau brahmana, nampak sedang sibuk memberikan arahan. Tampak beberapa kali menunjuk dengan jari tangan kepada benda atau seseorang dan berkata agak lantang saat memberikan instruksi.

Sekali-sekali Karna mendengar beberapa tentara kerajaan menjawab dengan sopan “Siap, bapa guru.” Kadang orang lain menjawab dengan “Siap, panembahan,” saat beberapa tentara berkomunikasi dengan orang berpakaian brahmana itu. Dari bisik-bisik sesama penonton di dekatnya, Karna mendengar bahwa orang berpakaian brahmana yang sedang sibuk itu adalah Panembahan Durna, sang kepala sekolah.

Yakin dengan kesiapan berbagai peralatan dan para peserta, bapak kepala sekolah memberikan sendiri aba-aba kepada para siswa peserta. Sambil meyakinkan bahwa semua prosedur dan pedoman dipahami dan diikuti oleh para siswa, kepala sekolah dengan sigap kadang mendatangi dan berbicara satu per satu para kepada peserta yang tidak terlalu banyak. Rupanya ini adalah kelas perorangan khusus yang merupakan hasil kompetisi dari kelas-kelas sebelumnya. Mereka dimasukkan ke dalam kelas lomba khusus ini, di mana kelas ini membutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan jauh lebih tinggi.

Masing-masing anak-anak panah milik para siswa sudah diberikan ciri dan tanda sedemikian rupa, misalnya bahan dan bentuk, warna bulu ekor anak panah, dan sebagainya, sesuai keinginan siswa.

Dari beberapa kali melepaskan anak panah, seorang kesatria yang bernama Arjuna mengumpulkan poin perorangan yang sangat mencolok. Mulai dari penambahan jarak tembak dan ketepatan pada sasaran, selalu kesatria ini mendapatkan nilai yang paling besar. Bahkan dari jarak yang terjauh, anak panah Arjuna mampu menembus dengan tepat pada sasaran yang sedang bergerak.

Karna memperhatikan dan mengamati dari jarak agak dekat busur yang digunakan Raden Arjuna, nampak busur itu berjenis longbow biasa saja, tanpa asesoris ataupun peralatan bantu lainnya. Sudah barang tentu itu berbeda dengan busur-busur produksi pabrik di jaman modern sekarang ini, misalnya jenis crossbow yang dilengkapi teropong atau alat bidik, atau recurve maupun compound bow yang sudah dilengkapi dengan sandaran anak panah.

Melihat situasi ini, jiwa dan darah muda Karna yang merasa pernah belajar dan berlatih, tergoda untuk mencoba ikut perlombaan. Dia mendatangi seorang berpakaian agamawan di meja panitia bernama Resi Krepa, yang sedang ikut mengawasi jalannya lomba. Dia memberanikan diri mengatakan kepada panitia untuk ikut memanah boneka target tersisa dari peserta yang gagal membidik. Mungkin karena melihat Karna berpakaian santri, bapak panitia langsung menjawab, bahwa lomba ini khusus bagi para kesatria dari lingkungan kerajaan dan tidak diperuntukkan peserta dari kalangan luar.

Kesopanan tutur kata dan penampilan Karna, ternyata membuat seseorang berperawakan gagah dan bersih yang sedang berdiri di samping meja panitia bereaksi. Dia berbisik kepada bapak panitia untuk memberikan kesempatan pemuda itu mencoba memanah. Rupanya bapak panitia tidak bisa mengambil keputusan, dan dia melapor kepada Penambahan Durna yang sedang mengawasi pelaksanaan lomba di tempat itu. Diskusi kecil dari keduanya rupanya membuat sedikit kepo seorang wanita, yang ternyata adalah ibu dari Raden Arjuna peserta pengumpul poin tertinggi. Wanita itu adalah ibu Kunti istri raja penguasa kerajaan sebelumnya.

Resi Krepa, ketua panitia lomba, menyampaikan kepada bu Kunti, bahwa ada seorang pemuda santri yang ingin ikut memanah pada target yang belum terkena sasaran. Saat ibu Kunti mencoba mendatangi dan melihat kepadanya, dia kaget melihat kalung yang dikenakan pemuda pemberani itu. Beliau mengenali dengan baik kalung yang sedang tergantung di leher pemuda itu. Belum sempat bertanya sesuatu, Panembahan Durna mendatanginya dan menanyai siapa dan kenapa dia berani hendak mencoba memanah. Karna berterus terang bahwa dia anak seorang pengemudi delman yang biasa mangkal mencari penumpang di wilayah ibukota.

Bapak kepala sekolah tidak mengizinkan dia ikut memanah karena memang ini ujian dikhususkan bagi para siswa dari kalangan bangsawan dan lomba kecil dalam rangka meramaikan saja. Tentu seorang anak pengemudi delman tidak bisa ikut dalam arena lomba yang dikhususkan bagi kalangan bangsawan kerajaan. Mendengar debat kecil ini, Raden Duryudana yang berdiri dekat Resi Krepa mencoba membela Karna. Dia memberi alasan masih tersisa boneka target, siapa tahu pemuda ini memiliki keterampilan tertentu, dan lagi ini adalah flight archery yang sangat sulit, bagi master sekalipun.

Panembahan Durna dan Resi Krepa tetap tidak mengizinkan Karna mengikuti lomba karena dia memang bukan dari kalangan bangsawan. Di tengah kebuntuan itu, tiba-tiba raja Astina, Prabu Drestarasta, mengunjungi arena lomba. Raja ini penyandang disabilitas, yakni dalam keadaan mata buta dan sama sekali tidak bisa melihat. Beliau belum lama menjabat karena menggantikan raja sebelumnya yaitu kakaknya yang wafat. Segera kesempatan ini dimanfaatkan oleh Raden Duryudana untuk membela Karna.

Saat itu terdapat sebuah kesatrian yang bernama Awangga atau Angga sudah lama kosong tidak ada penghuninya. Raden Duryudana memohon kepada raja, ayahnya, untuk mengangkat Karna sebagai seorang kesatria di situ agar dia memenuhi kriteria untuk bisa mengikuti lomba. Raja tidak kuasa menolak permintaan dari putra kesayangan, untuk mengangkat Karna sebagai seorang kesatria. Keputusan pun diambil dan juga didukung oleh pendapat ibu Kunti, sang mantan permaisuri, yang diam-diam menyimpan rasa tertentu pada Karna.

Meskipun diwarnai perdebatan, termasuk protes oleh para siswa lain, di antaranya Bima dan Arjuna, namun raja tetap melangsungkan pengangkatan Karna sebagai seorang kesatria untuk mengisi kesatrian kosong Awangga. Sekretariat kerajaan pun menjadi cukup sibuk untuk mempersiapkan acara pengangkatan secara mendadak itu.

Meskipun lokasi acara pengangkatan kesatria di lokasi lomba tidak terlalu jauh dari istana, beberapa perangkat kerajaan dan petugas harus mondar-mandir antara lokasi lomba dan istana. Mereka mempersiapkan beberapa peralatan standar, misalnya surat keputusan pengangkatan harus ditandatangani oleh wedana kerajaan, beberapa pusaka pelengkap bagi pengucapan janji dan ikrar, beberapa pejabat keprotokolan istana, dan sebagainya.

Dari beberapa pegawai istana yang mondar-mandir antara lokasi dan istana, Adirata ayah Karna sempat mendengar bahwa seseorang bernama Karna akan diangkat sebagai salah satu kesatria di kerajaan. Jangan-jangan itu adalah anaknya. Dia pun bergegas menuju lokasi lomba, dan sempat bertemu dan merangkul Karna, persis saat akan dilaksanakan pengucapan sumpah setia. Melihat peristiwa ini Bima dan Arjuna mengejek Karna, di mana ada seorang anak kusir delman bisa-bisanya menjadi seorang kesatria kerajaan. Ejekan dari kedua pangeran itu rupanya sangat menyakiti hatinya.

Tancep Kayon

Waktu cukup banyak tersita untuk persiapan dan acara pengangkatan seorang kesatria, tidak terasa matahari hampir terbenam, sebagai pertanda malam segera datang. Atas persetujuan raja, Panembahan Durna tidak berkenan melanjutkan acara ujian sekaligus lomba itu, mengingat sasaran juga menjadi tidak lagi terlihat dengan jelas. Keinginan Karna untuk ikut membidik target tidak kesampaian pada hari.

Ini artinya Raden Arjuna tetap sebagai pemenang lomba panahan dengan pengumpulan poin tertinggi dari beberapa kelas. Selisih perolehan poin dengan juara lain cukup tinggi. Maksud Raden Duryudana mengizinkan Karna untuk ikut membidik target sebetulnya mencarikan lawan bagi Arjuna agar tidak menjadi pemenang, paling tidak dengan selisih poin terlalu mencolok. Poin-poin yang dikumpulkan oleh saudara-saudaranya jelas tidak sebanding dengan juara pertama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun