Contoh, bagi elemen kompetensi “Menyiapkan mobil,” maka aspek kritisnya adalah “Ketepatan mengenali serangkaian tindakan untuk memastikan mobil bisa disiapkan.” Artinya yang bersangkutan harus mengetahui dengan pasti sebelum bertindak apa saja yang harus dan akan dilakukan atas mobil tertentu.
SKKNI disusun sedemikian rupa dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, sehingga dapat dijadikan acuan bagi lembaga pendidikan, para calon pemegang kompetensi, maupun pihak lain dalam memahami kompetensi yang disyaratkan.
Sampai saat ini sudah lebih dari 920 SKKNI yang berlaku dalam berbagai kompetensi dan tersebar di berbagai bidang, misalnya komunikasi dan informatika, akuntansi, bisnis, struktur, dan sebagainya.
Di samping SKKNI yang telah dikembangkan dengan melibatkan berbagai lembaga, dan dapat digunakan secara umum sebagai acuan oleh lembaga-lembaga pendidikan maupun pelatihan, terdapat juga Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) yang dikembangkan oleh organisasi tertentu secara internal.
Misalnya, kompetensi Penyelidik Paminal (Pengamanan Internal) oleh POLRI untuk keperluan internal kepolisian. SKKK akan dicabut apabila telah berhasil dirumuskan SKKNI bagi kompetensi yang bersangkutan.
Selain SKKK terdapat Standar Kompetensi Kerja Internasional (SKKI) yang merupakan standar kompetensi ditetapkan oleh organisasi multinasional dan berlaku secara internasional, misalnya Standar Kompetensi Tourisme ASEAN.
KKNI
KKNI merupakan singkatan dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Secara sekilas dari singkatan hanya berbeda satu huruf antara SKKNI dan KKNI, meski kepanjangannya berbeda jauh, namun secara makna berdekatan. KKNI merupakan suatu alat pemadanan atau penyetaraan tingkat kompetensi seseorang.
Penyetaraan di atas dilakukan bagi keluaran atau orang-orang yang dianggap kompeten, yang dihasilkan dari 3 sumber, yaitu dari sekolah (atau kampus), lembaga pelatihan (training), dan pengalaman.
Secara khusus, KKNI bagi pendidikan tinggi diatur melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan ditindaklanjuti dengan Permendikbud Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI Bidang Pendidikan Tinggi.
Contoh, seorang pemegang sertifikat kompetensi atau disebut profesi “Pemrogram Aplikasi Telepon Bergerak (HP),” 1) bisa dicapai setelah yang bersangkutan lulus dari program studi Informatika; 2) atau seseorang yang secara khusus mengikuti pelatihan atau kursus dalam pemrograman aplikasi HP; 3) atau seseorang yang bekerja dan pekerjaan utamanya adalah menulis program aplikasi HP, mungkin sebelumnya belajar secara otodidak.
Bagi ketiga sumber dapat mendapatkan sertifikat kompetensi menggunakan unit-unit dan elemen-elemen kompetensi yang sama yang berdasar pada SKKNI, SKKK, ataupun SKKI.