"Bener kata ayahmu. Pergi mandi sana. Kalau mau makan, ambil sendiri. Mak nggak sempat. Kerjaan Mak banyak hari ini."
"Beres, Mak. Aku mandi dulu. Udah laper," sahutnya dengan menenteng tas bekas hasil memulung ayahnya
***
Selepas magrib, Adit mencatat beberapa penjelasan dari Bu Asma siang tadi dengan buku bekas miliknya. Kebetulan ia mendapat pulpen di jalanan sepulang sekolah. Lumayan bisa membantu belajar. Ingin meminta pada ayah dan ibunya, merasa nggak enak. Anak seusia Adit, jarang menahan keluhan tentang kesedihan yang dialami. Namun, Adit bisa mengalahkan rasa itu dengan mengedepankan perhatian dan kasih sayang.
"Ini ada buku bekas dapet di halaman Bu Nababan. Kayaknya nggak dipakai lagi. Soalnya masih sedikit yang ditulis. Sayang kalau dibuang. Kan, bisa digunakan."
"Punya anak Bu Nababan, ya, Mak?"
"Ya, mungkinlah. Mak nggak nanya. Soalnya Beliau lagi ke Medan. Mak cuma beresin rumah, terus pulang."
Adit mengangguk, lalu melanjutkan pelajaran. Bocah kecil itu anak yang cerdas. Meski dengan segala kekurangan, otaknya tidak lemah. Padahal jarang sekali menikmati makanan bergizi. Kedua orang tuanya harus berjuang mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membayar kontrakan yang dihuni.
Ayahnya selain sebagai pemulung, juga mengerjakan apa yang disuruh beberapa warga. Kadang menyangkul, menanam padi, kuli bangunan, dan banyak lagi. Terpenting mendapat uang untuk sehari-hari.
Saat melihat halaman belakang buku bekas tersebut, ada beberapa kalimat yang membuat dirinya heran. Bukan hanya tulisan, tapi juga maknanya sangat dalam bila dibaca dengan hati.Â
--bersambung--