Bab 1. Pemberian Ayah
Hari ini adalah hari pertamanya masuk ke kelas baru. Setelah libur panjang, akhirnya Adit berangkat sekolah memakai sepatu. Dulu, saat kelas satu dan dua ia hanya memakai sandal. Sepatu usang hasil ayahnya memulung dipakai dengan kepercayaan diri.
Langkahnya terlihat tidak sempurna. Bukan hanya karena sepatu itu terlalu besar bagi kakinya yang kecil. Namun, sepatu yang bukan sepasang membuatnya susah melangkah. Sepatu yang semuanya sebelah kanan membuatnya tidak nyaman. Setidaknya ini hari pertama bocah kecil itu memakai sepatu ke sekolah. Senang bukan kepalang.
Adit sampai di sekolah dengan semringah. Sepatu yang jauh dari kata layak, sudah cukup membuatnya bahagia. Di kelas tiga, hanya Adit yang tidak kebagian bangku. Terpaksa bocah dengan rambut tak disisir itu berdiri di belakang sembari menyandarkan tubuhnya pada tembok kelas.
Adit membuka buku lusuhnya. Sedari tadi tidak ada satu pun kata yang ditulis. Tinta pulpennya ternyata sudah habis. Tak ada teman yang bisa dipinjam olehnya. Kalau pun dia nekat pasti jadi olok-olok teman sebayanya. Terpaksa Adit hanya menyimpan semua pelajaran dalam otak.
Bu Asma yang melihat Adit tidak menulis, akhirnya bertanya juga, kenapa Adit tidak menulis.Â
"Aku sudah menulis, Bu. Dalam otak ini." Adit sembari menunjuk ke kepala bagian samping.
"Otak manusia itu terbatas, Nak. Bisa saja kau lupa besok."
"Tidak, Bu."
"Ini Ibu pinjamkan pulpen. Kau tetap harus menulis. Sekarang kau duduk bertiga bersama Farhan dan Agus."
"Kami tidak mau, Bu. Adit Bau!" ucap Agus dengan lancang disambut tertawa semua murid.