PEMULUNG DAPAT UNTUNG
Oleh: SWNababan/Sri Wahyuni NababanÂ
Sejak jam delapan pagi pemulung bernama Karto belum juga makan. Sekarang sudah pukul dua belas siang. Saatnya istirahat sembari menunggu salat Zuhur tiba. Perutnya sudah sangat lapar. Suara cacing terdengar riuh seperti tak ingin berlama-lama untuk diberi makan.
Sambil memegang perutnya, dia juga memejamkan mata karena menahan sakit dan panasnya terik matahari. Dalam beberapa jam telah berjalan untuk mencari barang bekas yang berada di tempat sampah dan jalanan.
Duduk di atas tembok berukuran setengah meter yang berada di depan gerbang rumah mewah.
"Heh! Jangan di sini! Taunya cuma bongkar-bongkar tempat sampah aja! Nggak ada kerjaan lain, apa?!" usir pemilik rumah yang baru saja sampai dengan mengendarai mobil.
"Maaf, Pak. Tapi saya rapikan lagi, kok," ucapnya dengan nada lemas.
"Halaaaah! Semua pemulung itu sama. Nggak muda, nggak tua, sama-sama ngotorin!"
"Saya--"
"Udah-udah, nggak usah nyari pembelaan. Kumal, bau, jorok lagi. Huss!"
Pak Karto dianggap sebagai orang terhina karena pekerjaannya. Seandainya orang kaya tersebut kalau kehidupan Pak Karto benar-benar sulit, pasti tak akan merendahkannya. Bukan sekali ini orang-orang melakukannya, bahkan sering dan hampir setiap hari. Namun, dia tetap gigih menjadi pemulung lantaran tak ada lagi pekerjaan yang bisa menerimanya saat usianya sudah tua.
***
Setiap hari Pak Karto mencari barang rongsokan melewati perumahan warga. Namun, tak pernah mengambil apa pun yang bukan haknya. Dalam prinsipnya, meski miskin jangan pernah mencuri.
Ketika memilih benda yang bisa dijual yang berada di tempat sampah, terdengar suara rem mobil mendadak berhenti. Pak Karto langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata sebuah mobil yang hampir saja menabrak gerobak dorong. Tempat sampah warga tertabrak mobil tersebut karena mengelakkan gerobak.
Warga setempat dan pemilik tempat sampah beramai-ramai menghampiri mobil mewah tersebut untuk meminta pertanggung jawaban.
"Keluar! Keluar!" marah seorang warga.
"Hoi, keluar kamu!"
Tok! Tok! Tok! Tok!
"Kalau enggak keluar, kami rusak mobil ini!"
"Kurang ajar banget nih orang! Keluar nggak?!"
Warga makin geram karena sopir tak kunjung keluar dari mobil.
"Sabar. Sabar, Bapak-bapak. Kita jangan menghakimi dia dulu. Mungkin dia takut diserang, makanya belum keluar. Kan cuma tong sampah, kenapa kalian ribut?" celetuk Pak Karto.
"Heh! Nggak usah ngebelain orang kaya yang sombong kayak dia!" Sambil menunjuk ke arah mobil. "Kita harus kasi pelajaran!"
Pemilik mobil keluar dan menghampiri kerumunan. Laki-laki itu tak bisa berkata apa-apa lantaran takut dihajar warga. Karena kelalaian dan kurang fokus, hampir menabrak gerobak.
"Ayo, kita hajar mumpung dia ada di sini!" ajak warga beramai-ramai.
"Jangan, dia majikan saya dulu. Dia orang baik. Mungkin lagi nggak fokus makanya sampai nabrak. Kita harus sabar," sahut si pemulung. "Tolong dengarkan saya."
"Sabar-sabar. Enak aja! Minggir!" kata laki-laki bertubuh kekar dan berotot.
"Tolong, jangan sakiti dia. Bicarakan baik-baik. Saya sering ditolong sama Bapak ini. Saya nggak mau dia terluka," bela Pak Karto penuh harap.
"Oke, kalau bukan karena Bapak, pasti dia sudah kami tendang dan dimassakan!"
Kerumunan warga berlahan bubar. Pak Karto kembali memulung. Sebelumnya dia merapikan sampah yang berserakan karena tongnya jatuh, lalu pergi dengan membawa karung usang.
"Pak," panggil pemilik mobil tadi.
"Ya, Pak. Ada yang salah lagi?"
Dengan rasa bersalah, dia meminta maaf karena kemarin telah menghinanya. Dia juga mengucapkan terima kasih atas hari ini. Sebagai bentuk rasa syukur, dia memberikan sejumlah uang.
Pak Karto bukanlah tipe orang yang mengharapkan uang untuk membantu seseorang. Niatnya tulus karena merasa kalau menghakimi orang tidaklah baik.
"Pak, terimalah pemberian saya ini. Saya ikhlas."
"Saya juga tulus membantu Bapak. Jangan pernah membayar kebaikan orang. Termasuk saya," ucapnya dengan senyuman mengembang. "Oya, saya pergi dulu ya. Mau makan siang."
Pak Karto berbohong akan makan siang. Padahal dia tidak punya uang sepeserpun untuk membeli nasi. Uang kemarin sudah habis untuk membeli obat dan sebungkus nasi. Belum lagi karena seringnya kehilangan uang yang diletakkan di bawah tikar tempat dia tidur. Tetap bersabar dan tak mau ada keributan hanya gara-gara uang sedikit.
***
Di ujung jalan, terlihat laki-laki tua tengah duduk lemas sembari memegang perutnya. Sudah satu jam dia duduk menahan lapar. Tak lama dia terjatuh dan tak sadarkan diri. Orang-orang sekitar berlarian untuk memberi pertolongan. Warga berkerumun dan bingung mau ke mana dibawa lantaran tak ada yang mau berkorban untuk mengeluarkan uangnya untuk biaya pengobatan.
Seketika mobil mewah berhenti tepat di dekat kerumunan. Tanpa berpikir panjang, si pemilik mobil langsung meminta warga untuk mengangkat Pak Karto ke dalam mobil. Warga langsung melakukannya.
Dua jam berlalu. Pak Karto sudah terlihat segar dan sehat setelah mendapat pertolongan dari klinik.
"Di mana ini?" tanya Pak Karto dengan heran seraya melirik ruangan yang ditempati.
"Pak, sekarang kita ada di klinik," sahut orang kaya itu. "Gimana keadaan Bapak, sudah enakan?"
"Loh, emangnya saya kenapa? Kok, ada di sini?"
"Bapak pingsan di pinggir jalan. Jadi saya bawa ke mari. Oya, Bapak mau pulang sekarang? Dokter sudah memperbolehkan."
"Iya, saya mau pulang aja. Rumah saya nggak ada yang jagain. Takut diobok-obok orang jahat."
"Orang jahat? Maksud Bapak?"
"Saya mau pulang. Tapi saya nggak punya uang untuk bayar semua obat," ucap Pak Karto sedih.
Orang kaya itu menjelaskan kalau semua biaya telah ditanggungnya. Dengan rasa terima kasih, Pak Karto terus menyalami laki-laki yang pernah merendahkannya waktu itu.
***
Diam-diam orang kaya itu datang sebelum Pak Karto berangkat memulung dengan membawa dua bungkus nasi dan beberapa sembako. Rumah yang dindingnya sudah lapuk dan berlubang membuat hati laki-laki itu terenyuh. Ada rasa penyesalan yang dia lakukan karena telah sering mengusirnya ketika memulung.
Pak Karto heran dan merasa segan atas kedatangannya. Mempersilakan duduk dengan alas seadanya yang dia miliki. Dua bungkus nasi dan dua bungkus teh manis hangat mereka santap.
"Pak, maaf ngerepotin. Saya jadi nggak enak," kata Pak Karto di sela-sela menikmati hidangan terenak yang pernah dia makan.
"Saya nggak merasa direpotkan, Pak. Saya hanya ingin makan bareng sama Bapak di rumah ini. Sekalian kita ngobrol bebas di sini. Ya, itung-itung menebus kesalahan saya, Pak."
Mereka tertawa terbahak-bahak sampai lupa dengan permasalahan yang sudah-sudah. Indahnya saling mengerti meski diawali dengan rasa terhina. Sabar dan ikhlas akan datang dengan menghadirkan keberkahan.
Jangan pernah meremehkan seseorang karena mereka juga ciptaan Tuhan.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H