Dokter Layanan Primer disebut DLP sebagai amanah UU Dikdok No. 20 Th 2013 masih ramai diperbicangkan publik. Pembahasan RPP implementasi UU tersebut terkait DLP berlangsung alot. Masih ada Pro dan kontra.
     Sebetulnya pertanyaan masyarakat sederhana saja. Kenapa sih harus ada dokter DLP ? Apa tidak cukup dokter saja (dulunya disebut dokter umum). Dokter umum dianggap belum memiliki kompetensi yang cukup untuk menangani berbagai penyakit di pelayanan kesehatan primer I, sehingga pasien banyak yang dirujuk ke dokter spesialis. Apa kompetensi yang membedakan keduanya ?
     RPP implementasi UU No. 20 Th 2013 tentang Pendidikan Kedokteran tersebut belum disahkan jadi PP. Kalau kita lihat kompetensi dokter DLP sebagaimana tercantum dalam Ps 15 butir (3) RPP tersebut,  Dokter DLP memiliki kompetensi  sebagai berikut :
a. etika, hukum dan profesionalisme di tingkat pelayanan primer;
b. komunikasi holistik, komprehensif dan kecakapan budaya;
c. pengelolaan kesehatan yang berpusat pada individu dan keluarga;
d. keterampilan klinis dengan penekanan pada pencegahan di tingkat pelayanan primer;
e. manajemen fasilitas pelayanan kesehatan primer;
f. pengelolaan kesehatan yang berorientasi pada komunitas dan masyarakat; dan
g. kepemimpinan.
     Kompetensi dokter (dulunya disebut dokter umum) berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, adalah sebagai berikut.
1. Profesionalitas yang Luhur
Kompetensi Inti Mampu melaksanakan praktik kedokteran yang profesional sesuai dengan nilai dan prinsip ke-Tuhan-an, moral luhur, etika, disiplin, hukum, dan sosial budaya.
2. Â Mawas Diri dan Pengembangan Diri
Kompetensi Inti Mampu melakukan praktik kedokteran dengan menyadari keterbatasan, mengatasi masalah personal, mengembangkan diri, mengikuti penyegaran dan peningkatan pengetahuan secara berkesinambungan serta mengembangkan pengetahuan demi keselamatan pasien.
3. Komunikasi Efektif
Kompetensi Inti Mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan nonverbal dengan pasien pada semua usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega, dan profesi lain.
4. Pengelolaan Informasi
Kompetensi Inti Mampu memanfaatkan teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik kedokteran.Â
5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
Kompetensi Inti Mampu menyelesaikan masalah kesehatan berdasarkan landasan ilmiah ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir untuk mendapat hasil yang optimum.
6. Keterampilan Klinis
Kompetensi Inti Mampu melakukan prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah kesehatan dengan menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang lain.
7. Pengelolaan Masalah Kesehatan
Kompetensi Inti Mampu mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara komprehensif, holistik, terpadu dan berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer.
     Kalau kita cermati keduanya serupa tapi tidak sama atau sama tapi tidak serupa. Keduanya mempunyai 7 area kompetensi. Berdasarkan buku Standar Kompetensi Dokter Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) area kompetensi yang diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi dokter layanan primer. Melihat area lompetensinya, tidak ada perbedaan kompetensi yang signifikan antara dokter umum dan dokter DLP.
     Beberapa hal perbedaan antara lain ; pertama adalah pendidikan dokter DLP setara spesialis. Lama pendidikan dokter DLP 2-3 tahun setelah pendidikan akademik dan profesi dokter. Jadi pendidikan dokter DLP hanya dapat ditempuh oleh orang dengan latar belakang profesi dokter. Kedua ; pendidikan DLP ditambah muatan yang menerapkan prinsip ilmu kedokteran keluarga, ditunjang dengan ilmu kedokteran komunitas, dan ilmu kesehatan masyarakat. Ketiga; perbedaan level KKNI. Profesi dokter memiliki kualifikasi level 7 KKNI, dihasilkan dari pendidikan profesi.  Profesi Dokter Layanan Primer memiliki kualifikasi level 8 KKNI,  dihasilkan dari pendidikan setara Spesialis 1. Keempat : Jika dokter umum memiliki kompetensi 144 penyakit, maka DLP memiliki kompetensi 155 penyakit.
     Apakah akan terus diperdebatkan diantara keduanya ? Perlu duduk bersama antar semua elemen pembuat kebijakan, baik di organizational level maupun di tingkat policy level.  Masyarakat awam hanya ingin dilayani oleh tenaga medis dengan mutu yang terbaik, tidak perlu membayar mahal bila perlu gratis, dan mudah aksesnya ke pelayanan kesehatan (SW : Pengamat Kebijakan Publik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H