Mohon tunggu...
Swara Mahardhika
Swara Mahardhika Mohon Tunggu... -

Penikmat fotografi, film, tulisan dan gambar bertema alam, hidup dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Makna Gotong Royong

27 Februari 2014   08:25 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13934390031298564850

Hal tersebut menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang mendambakan keselarasan berujung perdamaian, bukan kekerasan berujung perpecahan seperti yang sering terjadi hari ini. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya diperlukan upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi yang dibatasi oleh koridor tatanan yang berlaku pada masyarakat di lingkungan tempatnya menetap.

Namun pada kenyataannya, sudah begitu banyak yang menyerukan pesan cinta damai, tapi yang terjadi justru “perang” semakin ramai. Mengapa terjadi hal yang demikian? Bukankah setiap agama di dunia mengajarkan perdamaian? Tapi kenapa pertikaian atau konflik berujung tindak kekerasan begitu mudah ditemui, bahkan semakin ironis ketika agama justru menjadi salah satu pemicunya. Seperti apa yang pernah terjadi di Poso, Maluku, Madura, dan Aceh pada level nasional, dan di Palestina, Afghanistan, Irak, Mesir dan Suriah pada level internasional.

Sekali lagi, kenyataan membuktikan bahwa hari ini telah terjadi kebekuan spiritual yang menyebabkan hubungan kasih antara sesama manusia menjadi dingin. Apabila kebekuan spiritual tersebut tidak segera dicairkan, maka budaya kekerasan akan senantiasa mewarnai hidup dan kehidupan manusia seterusnya. Hal itu akan terus terjadi selama masih ada sekumpulan manusia yang menyampaikan kebenaran versi golongannya masing-masing, terlebih dengan cara memaksa. Sehingga friksi berujung konflik pasti akan terus terjadi.

Jika hal yang demikian terus terjadi, lantas kemanakah fitrah manusia yang katanya “mahluk sosial” dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi? Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda, berbangsa-bangsa, bersuku-suku untuk saling mengenal? Perihal ini, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para pakar untuk menjawab persoalan ini, diantaranya adalah pakar antropologi, Koentjaraningrat. Beliau menjelaskan bahwa seringkali yang menjadi faktor pemicu konflik adalah adanya unsur pemaksaan paham/keyakinan suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya. Biasanya, unsur pemaksaan ini terjadi karena adanya pola pikir sempit atau “fanatisme buta” para penganutnya yang menjadikan mereka lupa memaknai istilah “mahluk sosial”.

Terbentuknya pola pikir tersebut bukan tanpa sebab. Era digital atau teknologi informasi saat ini adalah salah satu yang saat ini relevan untuk turut membidani lahirnya pola pikir tersebut. Yasraf Amir Piliang, di dalam bukunya yang berjudul Dunia Yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan Digital, menuliskan bahwa setidaknya ada tiga tingkat yang mengubah cara kita melihat manusia sebagai mahluk sosial, bahkan cara kita memaknai istilah “sosial”.

Pertama, pada tingkat individu, teknologi informasi telah mengubah pemahaman kita tentang identitas. Media komunikasi yang dijembatani oleh komputer telah melenyapkan batas-batas identitas. Di dalamnya setiap orang bisa menjadi  orang lain, atau seakan-akan menjadi beberapa orang yang berbeda pada waktu bersamaan. Kekacauan identitas tersebut akan mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas, dan gaya hidup setiap orang. Singkatnya, teknologi informasi yang telah membidani lahirnya dunia maya, rentan menjadi dunia yang anonim (tanpa identitas). Dan pada tingkat individu, media komunikasi dalam era teknologi informasi dapat menciptakan satu ketergantungan. Ia dapat menjadi semacam “candu” yang dapat menciptakan “kecanduan komunikasi”, sehingga orang dapat berjam-jam duduk di belakang komputer, hanyut di dalam dunia maya internet.

Kedua, pada tingkat “interaksi antar-individual” atau “interaksi sosial”. Interaksi sosial di dunia maya cenderung tidak dilakukan di dalam sebuah ruang teritorial (tempat) yang nyata (dalam pengertian konvensional), akan tetapi terjadi dalam sebuah halusinasi teritorial. Di dalam halusinasi teritorial tersebut, orang boleh jadi lebih mengenal seorang teman dekatnya di internet yang tinggalnya ribuan kilometer, ketimbang tetangga dekatnya sendiri. Bahkan, boleh jadi ia lebih mengenal “saudara”-nya di internet ketimbang “saudara” kandungnya sendiri.

Ketiga, pada tingkat “komunitas virtual”. Perbedaan mendasar antara komunitas tradisional dan komunitas virtual adalah bahwa pada komunitas tradisional atau masyarakat pada umumnya memiliki konvensi (kesepakatan) sosial atau aturan/hukum seperti hukum adat, memiliki lembaga hukum (yudikatif), serta memiliki pemimpin. Sedangkan pada komunitas virtual, pemimpin, aturan main dan kontrol sosial yang demikian boleh dikatakan tidak ada. Setiap orang seakan menjadi pemimpin, pengontrol, dan penilai dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian berkembang menjadikan komunitas virtual rentan melahirkan masyarakat “anarkis”, karena di dalamnya “apa pun boleh”. Tidak ada batasan hukum, tidak ada batasan moral, bahkan tidak ada batasan sama sekali. Dengan demikian, komunitas ini dianggap sangat rapuh, bahkan berpotensi untuk memicu suasana chaos (tidak teratur).

Konsekuensi Massal Jika Gotong Royong Ditinggalkan

Memudarnya nilai gotong royong dapat terjadi apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi bersifat sukarela, bahkan hanya dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk keuntungan materi, akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan membayar dengan uang. Kondisi yang serba materi seperti saat ini telah menjadikan nilai-nilai kebersamaan yang luhur semakin luntur dan tidak lagi bernilai.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, tentu kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika gotong royong semakin tersingkirkan, digantikan nilai-nilai individualisme yang lahir dari perkawinan antara kapitalisme dan neoliberalisme. Apa yang  terjadi kemudian adalah semakin mudahnya bangsa ini dipecah-belah, dikotak-kotakan, dan diadu-domba oleh pihak asing yang tentu akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Imbasnya, warna merah putih yang sejatinya identitas kita akan terancam pudar, seiring dengan pudarnya semangat gotong royong itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun