Mohon tunggu...
Swan Dito
Swan Dito Mohon Tunggu... -

Seorang calon manula yang ingin hidup praktis, sederhana tapi membawa ketentraman dan kedamaian batin. Hidup sehat dan bahagia adalah pilihan saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Pekerja menjadi Pertapa

11 Februari 2016   19:03 Diperbarui: 11 Februari 2016   22:45 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada pepatah yang mengatakan : 'Life begins at forty', hidup dimulai diusia empat puluh. Benarkah begitu ? Sudah lama saya mendengar tentang pepatah tersebut, tapi tidak pernah menaruh perhatian karena usia saya juga masih jauh dari angka empat puluh. Yang saya tahu saat muda adalah harus semangat mencari nafkah dan beli rumah. Sukur2 bisa jadi kaya raya, jadi konglomerat yang sering masuk tipi atau koran.

Begitulah hidup saya di Jakarta, berjuang demi harta, dari bekerja sebagai tenaga kasar (yang istilah kerennya blue collar worker), sampai dengan staf kantoran (white collar worker), berlangsung sampai usia saya mendekati angka empat puluh ditahun 1990.

Nah, apa yang terjadi setelah berjuang ber-tahun2 diibu kota? Sebuah rumah kontrakan dan sebuah mobil butut adalah hasil maksimal yang saya bisa capai. Dulu saya pikir, menjadi orang sukses itu gampang, hanya dengan semangat dan kerja keras pasti bisa, ternyata realita hidup mengatakan yang lain. Betul kata orang, semangat dan kerja keras 'bisa' atau 'dapat' menghantarkan kita kejenjang kesuksesan, tapi kata bisa atau dapat itu bukan berarti 'pasti'...hehehe.

Betul juga, begitu usia saya menjelang empat puluh tahun, mulai muncul pemikiran2 tentang kehidupan, seperti 'bagaimana kehidupan saya selanjutnya', 'apa yang saya akan kerjakan' atau 'kapan saya berganti haluan' dll. Yang saya tahu pasti saat itu adalah, saya sudah merasa cukup penat dalam berjuang hidup di Jakarta dan saya ingin keluar dari situ. Bergelantungan dan berdesakan di bis kota setiap hari, berangkat pagi pulang malam, dari Senin sampai Sabtu, telah saya jalani bertahun tahun. Saya ingin melakukan sesuatu yang lain dalam hidup saya. Dorongan untuk menjalani kehidupan yang lain (selain harta dan kuasa), semakin kuat.

Tahun 1990 akhir, saya akhirnya mengambil keputusan keluar dari Jakarta dan pulang kekampung halaman untuk memulai lagi suatu hidup baru. Bertepatan anak sulung saya masuk kelas satu SD. Setiap kali saya ditanya oleh orang lain, mengapa meninggalkan ibu kota, saya selalu menjawab, "sudah jenuh dan sudah mentok".  Untunglah, nasib baik masih bersama kami sekeluarga, sekembali di kampung halaman, saya masih bisa bekerja beberapa tahun disebuah perusahaan.

Sejak kepulangan saya kekampung halaman, saya mulai senang membaca buku2 filsafat, buku2 tipis terbitan Driyarkara, artikel2 rohani dikoran dan majalah. Beberapa kali ikut kelompok meditasi, tapi tidak pernah bisa bertahan lama. Saya lebih nyaman bermeditasi sendiri, tidak terikat oleh waktu dan tempat.

Perlu saya tampilkan disini, satu buku yang saya jadikan tuntunan/panduan dalam perjalanan 'hidup prihatin' saya. Bukunya berjudul 'Awareness', karangan Anthony de Mello, seorang imam Jesuit dari India. Isi buku tersebut sangat menyentuh hati saya dan sejak saat itu hingga sekarang (sudah dua puluhan tahun), masih setia menemani saya. Masih sering saya baca2 diwaktu senggang.

Perjalanan spiritual saya dimulai sejak mendapat inspirasi dari buku tersebut. Pelan2 saya mulai suka 'merenung' (bukan termenung, loh!), terlebih tentang kehidupan masa lalu saya, termasuk suka dan dukanya. Ternyata kegiatan 'merenung' itu menyenangkan dan mengasyikkan. Cukup duduk dikursi disamping rumah, usahakan badan bersandar dengan rilek dan mulailah mengamati sesuatu tentang diri kita sendiri, apa saja dari kesehatan sampai dengan kebahagiaan hidup.

Hari demi hari saya lewati, sedikit demi sedikit mengasah kesadaran mengenai kehidupan saya sendiri. Apa saja yang salah dengan cara hidup saya, sehingga saya merasa tidak bahagia? Apakah saya miskin, sehingga saya tidak boleh hidup bahagia? Apakah saya telah melakukan banyak kejahatan (perbuatan buruk), sehingga saya selalu merasa was2 atau kuatir mengenai nasib saya?

Aneh tapi nyata, tahun demi tahun terlewati. Tanpa saya sadari, saya telah melakukan banyak perubahan dalam hidup prihatin saya. Saya menjadi vegetarian. Saya makin giat meditasi dan semangat berlatih yoga. Berhenti makan dan jajan diluar rumah, berhenti mengkonsumsi makanan berminyak/berlemak atau makanan pedas. Tidak lagi minum kopi dan teh, tapi hanya air putih setiap hari. Kehidupan sosial dan berkomunitas semakin berkurang, banyak menghabiskan waktu sehari hari didalam rumah. Hubungan dengan dunia luar hanya terjadi lewat sebuah komputer jadul ini. Sampai2 HP pun saya tidak sempat atau tidak pernah punya...hehehe.

Tanpa terasa, usia saya telah memasuki kepala enam saat ini. Baru menyadari kalau saya sudah menjadi lansia, setelah e-KTP saya berlaku seumur hidup. SIM A sudah lama tidak saya perpanjang, sedangkan SIM C tinggal menunggu hari Ultah saya tahun ini dan tidak akan saya perpanjang juga. Kalau saya amati lagi, ternyata saya telah menjalani kehidupan seperti pertapa (?) ber tahun2 selama ini tanpa saya sadari. Mungkin saya pantas disebut sebagai seorang pertapa swasta atau partikelir, karena saya tidak pernah hidup seperti layaknya seorang pertapa beneran, yang hidup ditempat sunyi nan terpencil, pergi naik kegunung, bertapa digua atau masuk hutan. Saya cukup hanya menyendiri dan berdiam diri dirumah saja. Sebagai pertapa swasta atau partikelir saya juga tidak bergabung dengan kelompok atau tarekat tertentu. Bebas dan merdeka seorang diri, begitulah kira2 gambarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun