Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Perlunya Mewaspadai Bahaya Neoliberalisasi Hukum

3 Februari 2025   23:02 Diperbarui: 3 Februari 2025   22:14 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga hakim penerima suap yang ditangkap Kejaksaan Agung di Jawa Timur (sumber: RM.id)

Suka tidak suka, perbaikan dunia hukum terasa masih jalan di tempat. Salah satu contoh kasus yang memprihatinkan adalah ditangkapnya tiga orang hakim Pengadilan Negeri Surabaya oleh Kejaksaan Agung pada Oktober 2024 lalu beserta temuan sejumlah uang senilai miliaran rupiah. Diduga uang itu hasil pemberian kepada para hakim untuk membebaskan terdakwa pembunuhan Ronald Tannur. Sidang untuk mengadili para hakim itu sendiri sudah dimulai sejak Desember 2024.

Hal menyedihkan dari fenomena di atas adalah betapa kita mesti mewaspadai bahaya Neoliberalisasi hukum yang sedang terjadi di negeri kita. Kewaspadaan ini perlu untuk upaya perbaikan ke depan.

Tahapan globalisasi hukum 

 Dalam karyanya, The Three Globalization of Law and Legal Thought: 1850-2000   sebagaimana dikutip Darsa (2009), dosen teori hukum (jurisprudence) Harvard Duncan Kennedy mengatakan ada tiga tahap globalisasi hukum dan pemikiran hukum. Pertama, globalisasi positivisme hukum yang terjadi pada 1850-1914. Pada tahapan pertama ini, nilai-nilai liberal menyebar dalam perekonomian sebagaimana juga dalam berbagai kitab undang-undang. Sehingga, tahapan ini memberikan penekanan pada soal kebebasan dan kebendaan individu. 

Seturut berkibarnya paham rasionalisme dalam filsafat modern, hukum jadinya harus bersifat pasti, taat prosedur, dan formalistis alias kacamata kuda dalam menjalankan apa yang tersurat dalam kitab hukum. Tujuannya, melindungi kebebasan manusia dan hak milik mereka.

Kedua, globalisasi "hukum sosial" sebagai antitesis bagi globalisasi tahap pertama. Ini terjadi pada sekitar 1900-an. Aksentuasinya adalah pada perombakan struktur sosial, keadilan sosial, nasionalisme, lokalisme, sosialisme/komunisme, dan jaringan sosial. Nilai individualisme diganti dengan nilai kepentingan bersama (common good) dan hukum ditegakkan guna mencapai tujuan sosial tertentu. 

Imbas globalisasi hukum kedua ini di Indonesia bisa kita lihat pada masa Orde Baru. Pada masa itu, kita mengenal istilah hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan "pembangunan." Dalam bahasa lain kala itu, hukum adalah sarana untuk menciptakan kestabilan yang diperlukan demi mewujudkan pembangunan ekonomi yang pesat. Alhasil, hak-hak individu kerap diberangus atas nama pembangunan ekonomi demi kemakmuran seluruh rakyat. Makanya dalam periode ini, hukum menjadi tidak independen, tergantung pada penguasa, tidak demokratis, dan represif terhadap siapa saja yang mencoba-coba menggoyang tatanan sosial yang ada. 

Ketiga, globalisasi nilai "sintesis" antara positivisme hukum dan hukum sosial. Itulah yang disebut neoliberalisme hukum. Nilai-nilai yang diusung di sini adalah hak asasi manusia (HAM), non-diskriminasi, supremasi hukum (rule of law), otonomi daerah, tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance), serta pasar yang diatur secara pragmatis.    

Hukum Transaksional

Sampai tahap terakhir yang diandaikan paling baik itu, kita melihat adanya aspek positif dari nilai-nilai hukum yang terglobalisasi di atas. Namun, melihat aspek terakhirlah---pasar yang diatur secara pragmatis---yang harusnya membuat kita tahu pasti terdapat persoalan serius. Pasalnya, pasar pragmatis dalam neoliberalisme itu sejatinya meniscayakan pengikisan peran negara dan perkhidmatan penuh terhadap usaha swasta.

Saking takzimnya terhadap peran individu swasta, neoliberalisme bahkan menganggap setiap individu sebagai pengusaha dengan kerja sebagai produk mereka. Karenanya, pengusaha-pengusaha individual ini, yang menjadi atasan dan bawahan bagi mereka sendiri dengan pengusaha sebagai klien, diwajibkan mengurus dirinya sendiri apabila terjadi kecelakaan atau menurunnya kualitas kesehatan mereka. Ibarat kata, negara semestinya tidak lagi mengurusi masalah kesejahteraan rakyat luas lewat konsep kapitalisme kesejahteraan. Sebab, yang harus dianut kini adalah -self-care di mana setiap orang mengurus kesejahteraanya sendiri. 

Selain itu, jika gagasan liberalisme klasik masih memberikan otoritas kepada negara sebagai badan yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan, kesehatan publik, dan infrastruktur) sementara sektor privat menjadi motor pengadaan barang/jasa privat, maka neoliberalisme menolak pembagian semacam ini. Alasannya, barang/jasa publik pun diciptakan bukan karena berguna bagi publik umum, melainkan karena mendatangkan laba bagi penyedianya. 

Makanya, sektor-sektor yang berurusan dengan barang publik harus dikomersialkan. Dan ini mencakup sektor hukum. Alhasil, hukum menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan. Ringkasnya, hukum menjadi hukum transaksional. 

Hal ini berlaku terutama di Indonesia karena memang teori pluralisme hukum membuktikan bahwa nilai neoliberal pastilah harus bersekutu dengan nilai lokal. Artinya, nilai hukum untuk perlindungan pasar pragmatis berjalin-berkelindan dengan hukum sebagai alat elit penguasa mencapai pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru. Akhirnya, hukum pun menjadi dagangan yang berujung pada adagium siapa punya uang, dialah yang menang dan siapa yang papa, dia akan tak berdaya. 

Dari perspektif globalisasi hukum tahap ketiga yang masuk lewat pemikiran pluralisme hukum seperti inilah kita jadi memahami mengapa hukum kita, termasuk para oknum aparatnya, demikian lunak terhadap mereka yang punya harta dan kuasa. Dan, sebaliknya, begitu taat-asas terhadap mereka yang miskin dan lemah. Itulah bahaya neoliberalisasi hukum yang sudah menjangkiti dunia yudisial kita. Karena itu, jika tak ingin kondisi ini berlanjut, kita harus mulai berikhtiar mencari sintesis nilai-nilai hukum yang lebih baik. Tanpa itu, negara kita tak ayal akan menjadi negara kerdil yang mengalami kebangkrutan moral sekaligus ekonomi di masa depan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun