Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Perlunya Mewaspadai Bahaya Neoliberalisasi Hukum

3 Februari 2025   23:02 Diperbarui: 3 Februari 2025   22:14 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga hakim penerima suap yang ditangkap Kejaksaan Agung di Jawa Timur (sumber: RM.id)

Saking takzimnya terhadap peran individu swasta, neoliberalisme bahkan menganggap setiap individu sebagai pengusaha dengan kerja sebagai produk mereka. Karenanya, pengusaha-pengusaha individual ini, yang menjadi atasan dan bawahan bagi mereka sendiri dengan pengusaha sebagai klien, diwajibkan mengurus dirinya sendiri apabila terjadi kecelakaan atau menurunnya kualitas kesehatan mereka. Ibarat kata, negara semestinya tidak lagi mengurusi masalah kesejahteraan rakyat luas lewat konsep kapitalisme kesejahteraan. Sebab, yang harus dianut kini adalah -self-care di mana setiap orang mengurus kesejahteraanya sendiri. 

Selain itu, jika gagasan liberalisme klasik masih memberikan otoritas kepada negara sebagai badan yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan, kesehatan publik, dan infrastruktur) sementara sektor privat menjadi motor pengadaan barang/jasa privat, maka neoliberalisme menolak pembagian semacam ini. Alasannya, barang/jasa publik pun diciptakan bukan karena berguna bagi publik umum, melainkan karena mendatangkan laba bagi penyedianya. 

Makanya, sektor-sektor yang berurusan dengan barang publik harus dikomersialkan. Dan ini mencakup sektor hukum. Alhasil, hukum menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan. Ringkasnya, hukum menjadi hukum transaksional. 

Hal ini berlaku terutama di Indonesia karena memang teori pluralisme hukum membuktikan bahwa nilai neoliberal pastilah harus bersekutu dengan nilai lokal. Artinya, nilai hukum untuk perlindungan pasar pragmatis berjalin-berkelindan dengan hukum sebagai alat elit penguasa mencapai pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru. Akhirnya, hukum pun menjadi dagangan yang berujung pada adagium siapa punya uang, dialah yang menang dan siapa yang papa, dia akan tak berdaya. 

Dari perspektif globalisasi hukum tahap ketiga yang masuk lewat pemikiran pluralisme hukum seperti inilah kita jadi memahami mengapa hukum kita, termasuk para oknum aparatnya, demikian lunak terhadap mereka yang punya harta dan kuasa. Dan, sebaliknya, begitu taat-asas terhadap mereka yang miskin dan lemah. Itulah bahaya neoliberalisasi hukum yang sudah menjangkiti dunia yudisial kita. Karena itu, jika tak ingin kondisi ini berlanjut, kita harus mulai berikhtiar mencari sintesis nilai-nilai hukum yang lebih baik. Tanpa itu, negara kita tak ayal akan menjadi negara kerdil yang mengalami kebangkrutan moral sekaligus ekonomi di masa depan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun