Suka tidak suka, perbaikan dunia hukum terasa masih jalan di tempat. Salah satu contoh kasus yang memprihatinkan adalah ditangkapnya tiga orang hakim Pengadilan Negeri Surabaya oleh Kejaksaan Agung pada Oktober 2024 lalu beserta temuan sejumlah uang senilai miliaran rupiah. Diduga uang itu hasil pemberian kepada para hakim untuk membebaskan terdakwa pembunuhan Ronald Tannur. Sidang untuk mengadili para hakim itu sendiri sudah dimulai sejak Desember 2024.
Hal menyedihkan dari fenomena di atas adalah betapa kita mesti mewaspadai bahaya Neoliberalisasi hukum yang sedang terjadi di negeri kita. Kewaspadaan ini perlu untuk upaya perbaikan ke depan.
Tahapan globalisasi hukumÂ
 Dalam karyanya, The Three Globalization of Law and Legal Thought: 1850-2000  sebagaimana dikutip Darsa (2009), dosen teori hukum (jurisprudence) Harvard Duncan Kennedy mengatakan ada tiga tahap globalisasi hukum dan pemikiran hukum. Pertama, globalisasi positivisme hukum yang terjadi pada 1850-1914. Pada tahapan pertama ini, nilai-nilai liberal menyebar dalam perekonomian sebagaimana juga dalam berbagai kitab undang-undang. Sehingga, tahapan ini memberikan penekanan pada soal kebebasan dan kebendaan individu.Â
Seturut berkibarnya paham rasionalisme dalam filsafat modern, hukum jadinya harus bersifat pasti, taat prosedur, dan formalistis alias kacamata kuda dalam menjalankan apa yang tersurat dalam kitab hukum. Tujuannya, melindungi kebebasan manusia dan hak milik mereka.
Kedua, globalisasi "hukum sosial" sebagai antitesis bagi globalisasi tahap pertama. Ini terjadi pada sekitar 1900-an. Aksentuasinya adalah pada perombakan struktur sosial, keadilan sosial, nasionalisme, lokalisme, sosialisme/komunisme, dan jaringan sosial. Nilai individualisme diganti dengan nilai kepentingan bersama (common good) dan hukum ditegakkan guna mencapai tujuan sosial tertentu.Â
Imbas globalisasi hukum kedua ini di Indonesia bisa kita lihat pada masa Orde Baru. Pada masa itu, kita mengenal istilah hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan "pembangunan." Dalam bahasa lain kala itu, hukum adalah sarana untuk menciptakan kestabilan yang diperlukan demi mewujudkan pembangunan ekonomi yang pesat. Alhasil, hak-hak individu kerap diberangus atas nama pembangunan ekonomi demi kemakmuran seluruh rakyat. Makanya dalam periode ini, hukum menjadi tidak independen, tergantung pada penguasa, tidak demokratis, dan represif terhadap siapa saja yang mencoba-coba menggoyang tatanan sosial yang ada.Â
Ketiga, globalisasi nilai "sintesis" antara positivisme hukum dan hukum sosial. Itulah yang disebut neoliberalisme hukum. Nilai-nilai yang diusung di sini adalah hak asasi manusia (HAM), non-diskriminasi, supremasi hukum (rule of law), otonomi daerah, tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance), serta pasar yang diatur secara pragmatis.  Â
Sampai tahap terakhir yang diandaikan paling baik itu, kita melihat adanya aspek positif dari nilai-nilai hukum yang terglobalisasi di atas. Namun, melihat aspek terakhirlah---pasar yang diatur secara pragmatis---yang harusnya membuat kita tahu pasti terdapat persoalan serius. Pasalnya, pasar pragmatis dalam neoliberalisme itu sejatinya meniscayakan pengikisan peran negara dan perkhidmatan penuh terhadap usaha swasta.