Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengkritisi Legalisme Moral Negeri Ini

3 Februari 2025   16:45 Diperbarui: 3 Februari 2025   15:55 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Hukum dan Moralitas karya Petrus Bello (Sumber: www.belbuk.com)

Jika kita melihat headline atau thread media konvensional maupun media sosial tiga empat bulan ke belakang, niscaya kita akan terpajan dengan banyak kabar miring terkait kebijakan publik. Misalnya, ada kontroversi seputar Peraturan Pemerintah (PP) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang meluaskan pungutan hingga ke pekerja lepas dan swasta maupun PP pemberian
izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi keagamaan. Kemudian, kita ramai mendengar hiruk-pikuk seputar revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), UU Penyiaran, UU Kementerian Negara, UU TNI, UU Polri, dan lain sebagainya.

Rangkaian berita muram ini sejatinya kian mengasingkan publik dari harapan tercapainya tujuan liberal yang dicanangkan cita demokrasi modern, yaitu kebebasan dan kesejahteraan umum (Fareed Zakaria, The Future of Freedom, Ina Publikatama, 2004). Pasalnya, sejumlah kontroversi itu rata-rata terjadi karena kurangnya transparansi ataupun karena masyarakat merasa
tidak dilibatkan dalam tata kelola hajat hidup mereka sendiri, yaitu dalam urusan bersama (res publica). Akibatnya, masyarakat merasa berbagai kebijakan publik dari Negara justru memberatkan hidup mereka, apalagi di tengah situasi ekonomi dan geopolitik global yang juga tidak menguntungkan.

Legalisme Moral

Jika dirunut, hulu dari banyak kehebohan publik adalah praktik dari filosofi hukum legalisme moral yang tampaknya dianut oleh pengelola negeri ini. Mengutip tesis magister filsafat Petrus CKL Bello di STF Drijarkara (Hukum dan Moralitas, Erlangga, 2012). filsuf
hukum H.L.A Hart (1907-1992) menguraikan bahwa kita sebenarnya perlu membedakan antara hukum faktual yang berlaku (what is) dan moralitas alias apa yang seharusnya (what ought to be?). Tanpa pembedaan semacam itu, maka akan terjadi suatu konservatisme primitif di mana aturan hukum apa pun yang berlaku dianggap sama sebagai aturan moral, sehingga juga mengikat secara moral. 

Moralitas pun akhirnya diciutkan atau dikerangkeng di dalam hukum. Negara jadi merasa benar dengan produk hukum mereka karena produk itu dianggap benar juga secara moral. Padahal ini rentan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan. Adapun hal yang paling dibutuhkan untuk menantang penyalahgunaan kekuasaan adalah dipegangnya prinsip bahwa validitas suatu hukum selalu masih menuntut pemeriksaan legitimasi moral. Hukum faktual hanya bisa berkembang jika ia tidak identik atau tidak sebangun dengan moralitas. Sebab, ketidakidentikan atau ketidaksebangunan ini akan membuat hukum faktual berupaya terus untuk berkembang kian sempurna demi mendekati moralitas ideal.

Pada titik inilah, kita bisa melihat betapa berbahayanya legalisme moral pemerintah yang seakan menyamakan hukum faktual dengan moralitas. Apa yang sudah diundangkan itulah yang benar, sehingga ketidaksetujuan kadang dianggap pembangkangan yang terkesan perlu 'dibungkam' dengan cara represif penindakan hukum. Akibatnya, Negara terlalu terpaku pada aspek formal hukum sehingga berujung pada formalisme hukum dalam menata urusan publik lewat produk legislasi hukum.

Padahal menurut Muji Kartika Rahayu dalam tesis filsafatnya di STF Drijarkara, Sengketa Mazhab Hukum (Kompas, 2018), pandangan formalisme hukum inilah yang sekarang banyak dikritik, terutama oleh penganut mazhab realisme hukum. Pasalnya, formalisme hukum dianggap merepresentasikan ideologi "pasar bebas" (laissez faire) yang menentang kebijakan-kebijakan yang pro-buruh dan kesejahteraan sosial.

Kritik lainnya adalah formalisme menjadi punya keyakinan berlebihan pada kejelasan bahasa konstitusi untuk mendapatkan jawaban yang benar terhadap persoalan yang sebenarnya multiinterpretasi. Akibatnya, hakim mengambil keputusan tanpa merasa perlu untuk mengambil pertimbangan dari sumber-sumber nonhukum, seperti pertimbangan politik dan moralitas. Apalagi, jika kita memadukan pendapat Hart dan kaum realis hukum, sudah ada anggapan bahwa hukum formal itu sendiri sudah sebangun dengan moralitas. Apa yang diundangkan (the 'is') sudah pasti menjadi apa yang 'baik' dan 'benar' (the 'ought').

Dari konstruksi filsafat hukum di atas, kita harusnya kini mafhum bahwa praktik legalisme moral hanyalah akan menguntungkan elit berkuasa (ruling elite) dan meminggirkan massa-rakyat. Apalagi di tengah sistem politik oligarkis yang penuh dengan perburuan rente, banyak produk legislasi akhirnya dibuat hanya untuk kepentingan elit oligarkis yang umum tumbuh subur dalam sistem pasar bebas yang memungkinkan pemupukan aset kekayaan pribadi. Jadi, bukan untuk kepentingan rakyat. Sebagai contoh, wacana pelarangan jurnalisme investigatif dalam revisi UU Penyiaran beberapa waktu lalu tentu kental dengan aroma memagari praktik kolutif elit oligarkis dari kontrol publik yang diwakili pers bebas.

Atau contoh lain, revisi UU Kementerian Negara untuk meluaskan jumlah maksimal kementerian dari 34 kementerian, sangat kental menebarkan nuansa menambah kue kekuasaan untuk bisa cukup dibagi-bagi kepada para anggota koalisi kekuasaan
atau kepada mereka yang berkontribusi pada kemenangan elektoral beberapa waktu lalu.

Solusi

Jadi, apabila hulu dari banyak hiruk-pikuk kebijakan publik saat ini adalah filsafat hukum legalisme moral yang tampaknya dianut Negara, maka solusi untuk mencegah lebih banyak lagi kontroversi di masa depan hanya satu: tinggalkan legalisme moral maupun formalisme hukum.

Alhasil, Negara harus mulai menyadari bahwa segala produk hukum haruslah terbuka terhadap kritik publik, baik melalui investigasi pers bebas, aksi protes, maupun pengajuan uji materi (judicial review) ke MK yang diperkuat, bukan diperlemah sebagaimana kuat tercium dalam revisi UU MK yang mewacanakan pengusul hakim konstitusi bisa 'me-recall' hakim usulannya.

Keberadaan oposisi yang sehat dari segi jumlah maupun kualitas pun menjadi niscaya demi mengimbangi segala proses legislasi yang dijalankan oleh koalisi pemerintah di parlemen. Jika ada keseimbangan dinamika politik yang demikian, produk legislasi maupun kebijakan publik di masa depan dijamin akan lebih berkualitas dan lebih merepresentasikan aspirasi publik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun